Perbedaan Kebiasaan Antargenerasi: Mengapa Baby Boomer Sering Menyulitkan Generasi Muda
Setiap generasi tumbuh dalam lingkungan yang berbeda, dengan nilai dan cara pandang yang dibentuk oleh pengalaman unik mereka. Di satu sisi, Baby Boomers lahir antara tahun 1946 hingga 1964, tumbuh di era pasca-perang yang menekankan stabilitas, kerja keras, dan komunikasi langsung. Di sisi lain, generasi muda seperti Millennials dan Gen Z tumbuh dalam dunia digital yang cepat, penuh inovasi, dan menuntut keterbukaan serta efisiensi.
Perbedaan ini menciptakan kesenjangan generasi yang tak bisa dihindari. Terkadang lucu, kadang membuat frustrasi—dan tidak jarang menjadi sumber konflik dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, kantor, atau media sosial. Namun memahami kebiasaan yang mendasari perbedaan ini bukan untuk menghakimi. Justru, hal ini bisa menjadi pintu untuk saling memahami, menghargai, dan bahkan menertawakannya bersama.
Berikut delapan kebiasaan khas generasi Baby Boomer yang diam-diam membuat generasi muda mengernyitkan dahi:
1. Terlalu Suka Mengirim Surat Pos, Bahkan untuk Hal yang Sederhana
Surat tulisan tangan memang punya daya magis tersendiri—personal, hangat, dan menyentuh. Namun, generasi boomer sering kali terlalu mengandalkannya, bahkan untuk urusan yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam 10 detik lewat pesan instan.
Tagihan manual, undangan pernikahan, hingga ucapan selamat ulang tahun—semuanya masih dikirim melalui pos. Ini seringkali terasa seperti “proses yang tidak perlu” bagi generasi muda yang terbiasa dengan komunikasi instan. Ditambah lagi, dari perspektif generasi muda:
- Surat fisik memerlukan waktu lama untuk sampai
- Sulit untuk ditindaklanjuti secara cepat
- Tidak ramah lingkungan (lebih banyak kertas, lebih banyak sampah)
Bukan berarti surat tulisan tangan harus ditinggalkan sepenuhnya. Tapi penggunaan secukupnya dan kontekstual akan jauh lebih dihargai.
2. Menolak (atau Menunda) Adaptasi terhadap Teknologi Baru
Apakah Anda pernah harus menjelaskan cara mengubah nada dering atau mengirim foto via WhatsApp kepada orang tua lebih dari lima kali dalam satu minggu? Anda tidak sendiri.
Salah satu karakteristik paling mencolok dari generasi boomer adalah keengganan mereka terhadap teknologi baru. Bukan karena mereka tidak mampu mempelajarinya, tapi karena:
- Merasa teknologi terlalu rumit
- Khawatir melakukan kesalahan
- Merasa “tidak perlu” jika cara lama masih berfungsi
Padahal, dari perspektif generasi muda, teknologi bukan sekadar alat. Ia adalah bagian dari kehidupan sosial, kerja, hingga pendidikan. Saat boomer menolak belajar teknologi, yang tercipta adalah:
- Kesenjangan komunikasi
- Ketergantungan terus-menerus
- Potensi kehilangan peluang dalam dunia digital
Solusinya? Edukasi dengan pendekatan sabar, tetapi tetap mendorong kesadaran bahwa adaptasi adalah kunci bertahan di era sekarang.
3. Enggan Melakukan Daur Ulang dan Perilaku Ramah Lingkungan
Bagi banyak Baby Boomer, sampah adalah sampah. Mereka tidak tumbuh di era yang menekankan pentingnya daur ulang, pemilahan limbah, dan kesadaran lingkungan. Namun bagi generasi muda, krisis iklim adalah kenyataan hidup, dan setiap tindakan kecil—seperti memilah sampah plastik dan organik—dianggap sebagai kontribusi penting.
Masalah muncul ketika:
- Boomer mencampur semua jenis sampah
- Enggan membawa tas belanja sendiri
- Meremehkan pentingnya mengurangi plastik
Bagi generasi muda, kebiasaan ini tidak hanya membuat frustasi, tetapi juga membangkitkan rasa bersalah kolektif terhadap planet yang mereka akan tinggali lebih lama. Mengubah pola pikir tentu tidak instan. Namun menyadarkan bahwa perilaku pribadi berdampak luas bisa jadi langkah awal untuk jembatan antargenerasi.
4. Rasa Takut atau Ketidakpercayaan terhadap Belanja Online
Ketika generasi muda menyelesaikan belanja dalam 5 menit lewat aplikasi, banyak Baby Boomer masih merasa:
- Belanja daring tidak aman
- Takut tertipu atau barang tidak sesuai
- Lebih suka menyentuh dan melihat langsung barang
Mereka lebih percaya toko fisik dan kasir manusia, meski harus mengantre panjang. Padahal, kemajuan teknologi telah membuat sistem pembayaran dan pengiriman jauh lebih aman. Ketika ini terjadi dalam konteks keluarga—misalnya, memesan hadiah untuk cucu atau merencanakan belanja bersama—kesenjangan ekspektasi bisa membuat kesal.
Solusinya bukan memaksa, tapi mengedukasi sambil menunjukkan betapa mudah dan efisiennya sistem belanja online saat ini. Bahkan bisa dimulai dari hal sederhana seperti memesan makanan favorit via aplikasi.
5. Nostalgia Berlebihan yang Menutup Diri dari Kenyataan Masa Kini
Bagi Baby Boomers, masa lalu adalah masa emas. Musiknya lebih bagus, anak-anak lebih sopan, hidup lebih sederhana. Tetapi terlalu sering meromantisasi masa lalu bisa membuat generasi muda merasa tidak dihargai.
Kenyataan bagi generasi muda:
- Dunia saat ini lebih kompleks
- Persaingan lebih ketat
- Masalah baru bermunculan yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya
Mendengar kalimat seperti, “Zaman dulu nggak begini” atau “Kalian terlalu sensitif” dapat membuat generasi muda merasa dihakimi dan diremehkan. Alih-alih membandingkan, lebih baik saling bertanya:
- Bagaimana tantangan generasi kalian?
- Apa yang bisa kita pelajari dari satu sama lain?
Karena pada dasarnya, setiap generasi memiliki cobaan dan keindahannya sendiri.
6. Menolak Mencoba Tren Makanan atau Gaya Hidup Baru
Cobalah ajak Baby Boomer mencicipi smoothie kale atau burger vegan. Kemungkinan besar respons mereka adalah:
- “Makan tuh sayuran mentah? Makanan zaman dulu jauh lebih enak!”
Sebagian besar boomer tumbuh dengan menu konvensional: nasi, lauk, sayur matang. Perubahan tren seperti:
- Makanan plant-based
- Makanan tanpa gluten
- Diet keto atau paleo
…seringkali dianggap “aneh”, “tidak mengenyangkan”, atau bahkan “menyimpang”. Padahal, bagi generasi muda, eksplorasi makanan adalah bagian dari gaya hidup sehat dan penemuan diri. Dalam konteks makan bersama, sikap negatif atau komentar sinis bisa menciptakan tensi sosial, bahkan membuat anggota keluarga merasa tidak diterima. Solusinya? Jangan paksa mereka mengubah menu, tapi undang mereka mencicipi, bukan menghakimi.
7. Menolak Musik Modern dan Menganggap Musik Lama Lebih Berkualitas
“Musik zaman sekarang itu cuma bising. Nggak ada maknanya.” Kalimat ini hampir pasti pernah diucapkan atau didengar generasi muda dari kerabat boomer mereka. Bagi boomer, era The Beatles, Elvis, atau Koes Plus adalah puncak kualitas musik. Namun, musik modern mencerminkan:
- Keresahan dan harapan generasi muda
- Eksperimen dan kebebasan berekspresi
- Teknologi yang membuka banyak kemungkinan suara
Saat musik modern ditolak mentah-mentah, ini bisa terasa seperti penolakan terhadap budaya dan identitas generasi muda itu sendiri. Padahal, jika didengarkan dengan hati terbuka, kita bisa sama-sama menemukan keindahan dalam perbedaan genre. Karena seperti bahasa, musik adalah jembatan antargenerasi yang sangat kuat—bukan penghalang.
8. Kurangnya Kesadaran tentang Privasi di Media Sosial
Banyak dari kita pasti pernah merasa malu atau geli melihat komentar orang tua di media sosial:
- “Kamu cantik, pacarmu mana sekarang?”
- “Jangan pulang malam, nanti masuk angin!” – pada kolom komentar publik
Kebiasaan oversharing atau kurangnya filter dalam dunia digital memang sering terjadi di kalangan boomer. Hal ini terjadi karena:
- Mereka tidak tumbuh dengan etika digital
- Tidak paham batas privasi dan ruang personal di media sosial
- Mengira media sosial seperti buku harian terbuka
Akibatnya, generasi muda merasa:
- Risih
- Terpancing konflik keluarga
- Bahkan bisa terganggu secara profesional (karena komentar terlihat publik)
Solusi terbaik? Ajarkan mereka tentang privasi digital secara perlahan. Bantu mereka memahami bahwa apa yang ditulis bisa dilihat oleh dunia—dan dampaknya bisa lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Setiap poin di atas bukanlah tuduhan, melainkan potret nyata dari dinamika antargenerasi yang terus berkembang. Baby Boomers dibentuk oleh dunia yang berbeda—dan begitu pula generasi muda. Namun, perbedaan tidak selalu berarti pertentangan. Justru dari sinilah kita belajar:
- Cara menghargai tanpa harus setuju
- Cara mendengar tanpa menghakimi
- Cara menjembatani dua dunia yang berbeda, tetapi sama-sama valid
Di dunia yang serba cepat ini, dialog antargenerasi lebih dibutuhkan daripada sebelumnya. Karena pada akhirnya, kita semua ingin hal yang sama: dimengerti, dihargai, dan terhubung satu sama lain.