AHY: Truk Dikenai Pungli Rp150 Juta Tahunan

Posted on

Pemerintah Berupaya Memberantas Pungutan Liar dan Menjaga Keselamatan Pengemudi Truk

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan bahwa para sopir truk mengalami kerugian besar akibat adanya pungutan liar. Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, AHY menyebut bahwa satu unit truk bisa menghabiskan dana sebesar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta dalam setahun hanya untuk membayar pungutan tersebut. Angka ini dinilai sangat besar dan memberatkan para pengemudi yang bekerja di jalanan.

AHY menegaskan bahwa pemerintah akan terus berupaya membasmi praktik pungutan liar ini. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan kementerian dan instansi terkait untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat. “Kita harus cegah dan tertibkan. Tindakan harus tegas,” ujarnya dalam konferensi pers tersebut.

Menurut AHY, pungutan liar membuat pendapatan para sopir truk semakin berkurang karena mereka harus menyisihkan sebagian dari penghasilannya agar bisa melewati suatu wilayah. Meski begitu, ia tidak merinci lokasi-lokasi yang paling rentan terhadap praktik ini. “Daerahnya cukup menjadi diskusi internal kami. Kalau diungkap sekarang nanti bocor dan mereka kabur.”

AHY juga menjelaskan bahwa pemberantasan pungutan liar dapat menjadi solusi untuk mengurangi jumlah truk yang membawa muatan berlebihan atau Over Dimension Overload (ODOL). Pemerintah berencana menerbitkan kebijakan terkait truk ODOL demi menjaga keselamatan pengguna jalan lainnya, karena truk dengan muatan berlebihan sering kali menjadi penyebab kecelakaan.

Ketua Umum Partai Demokrat ini berharap tidak ada lagi sopir truk yang menolak aturan zero ODOL. Menurutnya, keselamatan pengendara di jalan raya sangat penting dan pemerintah wajib ikut serta dalam menjaganya. “Kita boleh punya banyak alasan. Tetapi pada akhirnya siapapun harus selamat di jalan. Kami bertekad (penanganan truk ODOL) kali ini benar-benar sukses,” ujar AHY.

Selain fokus pada pemberantasan pungutan liar, pemerintah juga mengingatkan para sopir truk untuk bergabung dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Keikutsertaan dalam program ini disebut dapat meningkatkan kesejahteraan para sopir serta memudahkan pemerintah dalam mengawasi pengupahan dan kesejahteraan mereka.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Cris Kustadi, menjelaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan merupakan solusi terhadap keluhan para sopir truk yang merasa dirugikan oleh aturan zero ODOL. Kustadi menyatakan bahwa aturan ini sering ditolak karena para sopir merasa pendapatan mereka berkurang akibat pembatasan muatan barang dalam satu perjalanan.

“Para sopir yang mendaftar ke BPJS Ketenagakerjaan, mereka akan mendapat perlindungan. Jadi kalau penghasilan mereka di bawah upah minimum regional, nanti akan ada pengawasan dari Kementerian Ketenagakerjaan,” ujar Kustadi dalam konferensi pers yang sama.

Menurut Kustadi, para sopir yang terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan akan dipantau jam kerja dan kesejahteraan mereka. Cara ini, menurutnya, dapat menjadi jawaban untuk para sopir truk yang masih menolak peraturan zero ODOL tersebut.

Sebelumnya, Ketua Umum Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia, Ika Rostianti, menyampaikan bahwa para pengemudi truk merasa geram karena pemerintah hanya menuntut agar tidak membawa muatan berlebihan. Di sisi lain, dia menyatakan bahwa solusi untuk mengatasi masalah ini belum pernah diberikan. “Padahal pemerintah bisa mengintervensi harga, mengatur tarif, hingga memberi subsidi kepada sopir truk supaya tidak membawa muatan lebih,” kata Ika saat diwawancara Tempo.

Ika berpandangan bahwa pemerintah hanya menarasikan truk ODOL itu membahayakan dan merugikan pengguna jalan raya. Dia pun tidak menampik narasi tersebut karena pada realita di lapangan, mayoritas kecelakaan memang didominasi oleh truk bermuatan berlebihan.

Namun, fenomena ini terjadi bukan tanpa sebab. Ika menjelaskan bahwa sopir truk terpaksa membawa banyak muatan untuk menutupi ongkos kirim barang. “Kalau dipaksa mengikuti aturan pemerintah, tidak cukup antara pendapatan dan muatan yang dibawa. Ujung-ujungnya sopir ini tidak membawa penghasilan untuk anak istri mereka di rumah,” ujarnya.

Ika memberikan contoh, seperti truk pengangkut beras dari Banyuwangi menuju Lombok, hanya dibayar Rp 500 ribu per 1 ton muatan. Jika mengikuti aturan pemerintah, maka muatan paling banyak hanya 4 ton. Sedangkan biaya Rp 2 juta untuk 4 ton itu tidak mencukupi untuk ongkos perjalanan dan biaya lain-lain saat melintasi Banyuwangi-Lombok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *