Upaya Pemprov DKI Jakarta dalam Percepatan Proses Perizinan dan Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus berupaya mempercepat proses perizinan, termasuk perizinan terkait Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan kualitas infrastruktur Ibu Kota dan menjadikannya lebih kompetitif di tingkat global. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menekankan pentingnya percepatan perizinan dalam rangka membangun kota yang lebih dinamis dan efisien.
Menurut Pramono, percepatan proses perizinan tidak hanya akan mempercepat pembangunan infrastruktur, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah. Ia menyatakan bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan cukup signifikan, meskipun belum merinci angka pastinya. Dalam acara Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Pasca Pelantikan Kepala Daerah pada Juli 2025, Pramono mencontohkan sebuah kasus di mana perusahaan mengajukan izin KLB selama 12 tahun tanpa hasil. Setelah proses pengurusan izin dilakukan secara transparan, perusahaan tersebut akhirnya membayar kompensasi sebesar Rp480 miliar.
Selain itu, Pemprov DKI juga melakukan pencanangan integrasi kawasan Lapangan Banteng dengan Gedung AA Maramis. Proyek ini tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan dibiayai oleh kompensasi pelampauan KLB dari PT Bank Jtrust Indonesia. Pramono menegaskan bahwa setiap pengajuan KLB harus diselesaikan dalam waktu maksimal 15 hari. Jika tidak, ia sendiri yang akan menandatangani surat keputusan.
Potensi KLB dalam Pembangunan Infrastruktur Jakarta
Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo, menjelaskan bahwa sejak diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) No. 175 Tahun 2015 dan direvisi menjadi Pergub No. 120 Tahun 2016, telah terbangun infrastruktur publik senilai sekitar Rp3,2 triliun dari kompensasi pelampauan KLB. Beberapa proyek yang dibangun melalui skema ini antara lain Jembatan Semanggi, rumah susun di Daan Mogot, dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) tematik di Jalan Sudirman.
Selain itu, melalui penerapan Pergub No. 50 Tahun 2021 tentang Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (TOD), Pemprov Jakarta mendapatkan sekitar Rp500 miliar untuk pembangunan infrastruktur publik di kawasan TOD. Yustinus menambahkan bahwa kedua Pergub tersebut hanya mencakup kawasan tertentu yang dapat mengajukan permohonan pelampauan KLB. Ke depan, Pemprov berencana memperluas cakupan pelampauan KLB ke seluruh wilayah Jakarta, berbasis pada radius titik-titik stasiun atau halte transit angkutan umum massal.
Tujuan dari langkah ini adalah untuk mewujudkan pemusatan penduduk pada area transit dan mendorong penggunaan angkutan umum massal, sesuai arahan dalam Perda No. 7 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2024–2044. Pembangunan infrastruktur dari KLB akan mengacu pada Perda RPJMD, Pergub tentang Panduan Rancang Kota, serta program prioritas lain Pemprov dengan mempertimbangkan urgensi dan kebutuhan masyarakat yang tidak tercover dalam APBD.
Skema Pembiayaan Lain untuk Pembangunan Infrastruktur
Selain KLB, Pemprov DKI Jakarta memiliki beberapa skema pembiayaan lain untuk pembangunan infrastruktur. Yustinus menjelaskan bahwa skema-skema tersebut meliputi:
- Kewajiban dari pemegang izin pemanfaatan ruang seperti pembangunan prasarana, sarana umum, serta konversi atas kewajiban RSM/SP3L.
- Transfer development right (TDR).
- Penerapan konsep privately owned public space (POPS).
- Kerjasama pemerintah dan badan usaha untuk pembangunan infrastruktur.
- Optimalisasi pemanfaatan aset daerah.
- Skema pembiayaan lain yang terus dikaji penerapannya di Provinsi Jakarta.
Selain KLB, Pemprov DKI juga mempercepat proses Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan/Lokasi (SP3L). Menurut Pramono, percepatan perizinan menjadi hal penting dalam upaya menjadikan Jakarta sebagai kota global. Ia menjelaskan bahwa kepastian dalam pengurusan perizinan akan memberikan rasa aman bagi para investor dan pelaku usaha.
Di sisi lain, Yustinus juga menyampaikan bahwa transformasi Jakarta menjadi kota global memerlukan investasi masif, diperkirakan mencapai ratusan hingga lebih dari Rp1.000 triliun dalam satu hingga dua dekade ke depan. Pramono menilai bahwa untuk meningkatkan peringkat Jakarta sebagai kota global, Pemprov perlu mengakhiri rezim ketidakpastian yang selama ini menghambat proses perizinan.