Analisis Berita: Krisis Perumahan Makin Rumit, Wamen PKP Fahri Hamzah Perkenalkan “Double Backlog”

Posted on

Konsep “Double Backlog” dalam Krisis Perumahan Nasional

Dalam rangka perayaan Hari Perumahan Nasional, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah memperkenalkan istilah baru yang menarik perhatian publik dan para pemangku kebijakan: “Double Backlog.” Istilah ini muncul dalam sebuah konferensi pers The HUD Institute, yang menjadi momen penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa krisis perumahan di Indonesia bukan hanya sekadar soal angka, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang lebih dalam dan kompleks.

Apa Itu “Double Backlog”?

Fahri menjelaskan bahwa istilah “Double Backlog” merujuk pada situasi yang dialami oleh enam juta keluarga yang menghadapi dua lapis keterbatasan:

  • Tidak memiliki rumah sendiri (backlog kepemilikan).
  • Tinggal di rumah yang tidak layak huni (backlog kelayakan).

Dengan demikian, masalahnya tidak hanya terkait dengan ketiadaan hunian, tetapi juga kondisi tempat tinggal yang tidak memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan. Hal ini mencerminkan lapisan terdalam dari krisis perumahan yang selama ini luput dari perhatian kebijakan yang hanya berfokus pada angka agregat.

Seberapa Besar Backlog Perumahan di Indonesia?

Angka backlog perumahan di Indonesia selama ini menjadi perdebatan. Menurut Fahri, jumlahnya kini mencapai 15 juta unit, meningkat secara signifikan dibandingkan angka sebelumnya yaitu 9,9 juta unit yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa angka resmi akan diperbarui setelah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 dirilis.

Selain itu, Fahri juga menambahkan bahwa terdapat 26 juta rumah tidak layak huni (RTLH) yang membutuhkan renovasi. Ini menunjukkan bahwa krisis perumahan tidak hanya terkait dengan kepemilikan, tetapi juga dengan kualitas hunian yang tidak memadai.

Apakah Istilah “Double Backlog” Tepat?

Secara konseptual, istilah ini mengisi kekosongan dalam narasi kebijakan perumahan. Selama ini, backlog hanya dihitung sebagai selisih antara jumlah rumah tersedia dan jumlah rumah yang dibutuhkan. Namun, “Double Backlog” menyoroti kerentanan ganda yang dialami oleh jutaan keluarga: tidak punya rumah dan hidup dalam kondisi tidak layak.

Istilah ini dinilai tepat karena beberapa alasan:

  • Mendorong pendekatan kebijakan yang lebih holistik, bukan hanya berbasis angka.
  • Menekankan pentingnya data tunggal berbasis nama dan alamat (by name by address) agar intervensi sosial lebih akurat.
  • Menggeser fokus dari pembangunan fisik ke penataan sosial dan ekonomi.

Akar Masalah Backlog

Fahri menegaskan bahwa penataan kebijakan perumahan tidak boleh hanya terpaku pada angka backlog. Ia menyebut bahwa akar persoalan mencakup:

  • Kemiskinan struktural.
  • Keterbatasan lapangan kerja.
  • Pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.

Selain itu, anomali pasar perumahan juga menjadi sorotan. Meski backlog tinggi, banyak stok rumah yang tidak terjual. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara suplai dan permintaan, akibat kebijakan yang tidak berbasis data permintaan yang presisi.

Solusi dan Arah Kebijakan Baru

Pemerintah kini mengusung tiga pendekatan wilayah:

  • Perdesaan: Renovasi rumah tidak layak karena mayoritas sudah memiliki tanah dan bangunan.
  • Perkotaan: Hunian vertikal seperti model HDB Singapura karena keterbatasan lahan.
  • Pesisir dan kawasan kumuh: Pemanfaatan tanah negara untuk menekan harga rumah hingga 50%.

Fahri juga mendorong pembentukan lembaga off-taker sebagai penjamin pasar perumahan rakyat, agar pengembang tidak terbebani risiko pembiayaan dan pemasaran.

Penutup

Istilah double backlog bukan sekadar jargon baru, melainkan refleksi atas kompleksitas krisis hunian di Indonesia. Dengan angka backlog yang diperkirakan mencapai 15 juta unit dan 26 juta RTLH, serta jutaan keluarga yang mengalami kerentanan ganda, kebijakan perumahan nasional membutuhkan lompatan paradigma: dari angka ke manusia, dari suplai ke permintaan, dari pembangunan ke penataan.

Jika momentum Hari Perumahan Nasional 2025 dijadikan titik balik, maka istilah double backlog bisa menjadi kompas baru dalam menata hunian yang benar-benar menyentuh rakyat.