● Rencana transisi energi di Peraturan Menteri ESDM Nomor 10/2025 malah mengextensikan masa hidup pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara dengan menawarkan solusi semu seperti pencampuran biomass dan CCS/CCUS.
● Penutupan PLTU menjadi pilihan terakhir jika anggaran tersedia.
● Rencana jalannya untuk perubahan energi perlu direvisi dengan penekanan kuat pada sumber daya yang dapat diperbaharui serta menganggap pentingnya penghentian operasi pabrik listrik tenaga uap sebelum waktunya sebagai hal utama.
Dalam menghadapi krisis iklim yang makin memburuk, Indonesia belum cepat pindah ke energi terbarukan malahan menuju arah yang bertolak belakang. Pada beragam ajang internasional, Presiden
Prabowo
Subianto menyebutkan bahwa ia berencana untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dalam jangka waktu 15 tahun mendatang dan bermigrasi menuju sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Akan tetapi, beberapa keputusan baru dari pemerintahan tampaknya bertentangan dengan hal tersebut.
Peraturan Menteri ESDM
Nomor 10 Tahun 2025 mengenai Rencana Tranisisi Energi di Sektor Kelistrikan yang dirilis bulan April tahun lalu justru masih memberikan kesempatan bagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.
Kajian kami di
CELIOS
Menunjukkan, sebaliknya dari menjadi pedoman jelas dan maju menuju transisi energi bersih, aturan tersebut malah bertindak regresif. Banyak pasal dalam regulasi itu penuh dengan pengorbanan kepada kepentingan energi fosil dan kurang memiliki strategi kuat untuk bermigrasi ke sumber daya energi yang lebih hijau.
CCS/CCUS menjadi berkah bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Permen ESDM 10/2025
merancang perubahan menuju energi dengan langkah-langkah terencana, salah satunya lewat penerapan
co-firing
bahan bakar biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap serta teknologi pengejaran dan pengarsipan karbon sebagaimana tersebut
Carbon Capture and Storage
(CCS) atau
Penangkapan Karbon, Pemanfaatan, dan Penyimpanan
(CCUS).
Pasal 5 dari peraturan terbaru tersebut menggarisbawahi pentingnya CCS/CCUS dalam mereduksi emisi gas rumah kaca. Namun, bukti dari berbagai negara menunjukkan bahwa teknologi ini hanya memberikan efek seakan-akan dan masih mempunyai beberapa hambatan bersama risiko yang ada.
risiko lingkungan
ketinggian serta beban biaya yang begitu tinggi. Implementasi teknologi tersebut pun setara dengan pemanjangan usia dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
Sementara itu
co-firing
Biomassa adalah campuran antara biomassa (misalnya kayu atau sampah organik) dan batubara di pembangkit listrik yang dinyatakan sebagai bagian dari perpindahan ke arah sumber energi terbarukan tetapi masih bergantung pada pengekstrakan sumber daya hutan.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah berhak mengeluarkan izin penggunaan tanah untuk hutan energi terbarukan. Selain itu, proyek-proyek semacamnya mungkin akan dimasukkan ke dalam kategori Proyek Strategis Nasional.
(PSN)
, dengan proses perizinan yang menjadi lebih sederhana dan kilat.
Studi
CELIOS
menunjukkan, 100% produk dari konsesi pengembangan HTE terbesar, PT Korintiga Hutani Indonesia dalam bentuk
wood chips
dan
wood pellets
Diekspor ke Jepang. Ini menunjukkan bahwa hutan di Indonesia dirambah untuk memuaskan permintaan energi dari negera lain. Tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan ideologi energi bersih serta menggalakkan praktik penebangan hutan tanpa tata kelola yang baik.
Tidak ada persyaratan pensiun awal untuk pembangkit listrik tenaga uap tersebut.
Rencana transisi energi ini mengindikasikan bahwa pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto kurang berkomitmen untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTU), sebab mereka memakai standar keberlanjutan finansial sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan penutupannya.
Ini tampak melalui penerapan metode tersebut.
Analytical Hierarchy Process
(AHP) untuk mengatur tingkat kepentinganprioritas (Poin 2 lampiran Permen ESDM 10/2025).
Dari sepuluh parameter yang tersaji, beban terberat jatuh pada penyediaan bantuan pembiayaan, mencapai 27,1%. Di sisi lain, emisi gas rumah kaca mendapat penilaian lebih rendah dengan skor 9,3%, sebuah nilai yang cukup minim mengingat tingkat urgensi masalah tersebut.
Metode AHP yang memberikan bobot sama pada faktor-faktor teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan tentu saja kurang sesuai untuk situasi ini. Jika aspek finansial menjadi prioritas utama, maka kebijakan pemerintah cenderung akan lebih mendukung pembatasan PLTU yang telah memiliki dana dibandingkan dengan yang paling berdampak buruk bagi lingkungan.
Sebenarnya, penelitian yang dijalankan oleh
CREA dan IESR
Pada tahun 2023 tercatat bahwa emisi polutan udara dari pembangkit listrik tenaga uap batubara menyebabkan lebih kurang 10.500 kematian akibat pencemaran udara di Indonesia selama tahun 2022. Tambahan pula, total beban biaya kesehatan karena dampak pencemaran tersebut mencapai angka US$7,4 miliar atau setara dengan antara Rp67,6 sampai 170,3 triliun.
Permasalahan mengenai penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) semakin membelenggu saat pemerintah menunjuk PT PLN (Persero) untuk menjadi entitas utama yang bertanggung jawab atas penyusunan analisis percepatan penghentian masa beroperasi PLTU sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Pasal 12 dari Keputusan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025
.
Sebenarnya, PLN tidak hanya merupakan badan usaha milik negara semata; ini adalah pemain besar dalam industri listrik, operator dari berbagai unit pengeproduksi tenaga uap dengan kapasitas tertinggi, serta salah satu entitas yang paling merasakan dampak langsung dari upaya untuk mengakhiri operasi pembangkit bertenaga batubara lebih cepat. Memintanya untuk menghentikan kegiatan bisnisnya sendiri, adakah kemungkinannya dia akan setuju?
PLTG diperluas
Salah satu cara untuk meminimalkan konsumsi bahan bakar fosil dalam proses generasi listrik adalah dengan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri gasifikasi berkat peningkatan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Gas tersebut dianggap sebagai sumber energi ramah lingkungan.
Global Energy Monitor (GEM)
Mencatat adanya 11 proyek pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan unit combine cycle (PLTGU) yang direncanakan untuk dibangun sebelum tahun 2030, dengan total kapasitas mencapai 2.680 MW (2,68 GW), setara dengan 12,18% dari sasaran energi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2040.
Padahal,
studi CELIOS
menunjukkan bahwa bila Indonesia bergantung pada pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sampai tahun 2040, jumlah kerugiannya akan menjadi seperti ini:
output
Ekonomi dapat menyentuh angka Rp941,4 triliun. Meskipun menggunakan teknologi yang lebih canggih seperti siklus terpadu, kerugian masih signifikan yaitu sebesar Rp280,9 triliun.
Pencemaran yang dihasilkan oleh PLTG (misalnya PM2.5, NOx, SO₂) turut mengakibatkan berbagai efek pada kesehatan manusia. Gagal bayar klaim BPJS diperkirakan akan meningkat karena adanya penyakit-penyakit terkait pencemaran udara, sebut saja seperti bronkitis dan asma. Perluasan penggunaan gas alam tersebut diyakini bakal membebani biaya perawatan kesehatan dengan angka antara Rp89,8 hingga Rp249,8 triliun selama periode 15 tahun mendatang.
Sebenarnya, apabila Indonesia mengkhususkan dirinya dalam membangun energi terbarukan seperti panel surya serta tenaga mikrohidro,
berbasis komunitas
, ini akan
berkontribusi positif
Terkait dengan ekonomi senilai Rp2.627 triliun di tahun 2040. Jumlah pekerja yang diserap pun dapat meningkat signifikan hingga 20 juta orang pada tahun tersebut.
Rencana jalannya untuk menutup PLTU perlu direvisi sepenuhnya.
Permen ESDM 10/2025
Merupakan tugas berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 untuk mengakselerasi penerapan pembangunan energi terbarukan dalam sektor kelistrikan.
Akan tetapi, peta jalan yang dirilis oleh Kementerian ESDM tersebut keliru dan mengarahkan kita ke jalur buntu yang bisa menunda proses transisi energi.
Oleh karena itu, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto perlu sepenuhnya merevisi regulasi tersebut melalui sejumlah langkah penting sebagai berikut:
-
Sertakan lebih banyak pihak berkepentingan utama dalam penyempurnaan regulasi tersebut.
-
Sarankan pensiun prematur pembangkit listrik tenaga uap batu bara menjadi pilihan utama untuk mendorong depolitisasi lebih cepat.
-
Konsentrasi pada sumber daya energi yang dapat diperbaharui. Jauhi alternatif palsu semacamnya.
co-firing
biomassa, CCS/CCUS, serta gas fosil.
-
Kembangkan ulang sistem penentuan bobot pada skala prioritas sehingga elemen lingkungan dan kesehatan memperoleh kepentingan yang lebih besar, terpisah dari perspektif ekonomi maupun teknis.
-
Atur tenggat waktu spesifik untuk menutup pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara tersebut.
Artikel ini awalnya dipublikasikan di
The Conversation
, portal informasi nonprofit yang mendistribusi ilmu pengetahuan dari akademisi dan para peneliti.
-
Lowongan kerja hijau: Benarkah menjanjikan untuk generasi muda?
-
3 kelompok pemilu siswa mengenai pendidikan perubahan iklim. Termasuk yang mana?
Muhamad Saleh tidak terlibat dalam pekerjaan formal, bantuan sebagai konsultan, kepemilikan saham, atau penerimaan dana dari perusahaan atau institusi lainnya yang dapat memperoleh keuntungan dari tulisan ini. Dia juga menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki ikatan tambahan selain hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya.