KBB Merenah: Program Inovatif untuk Menangani Rumah Tidak Layak Huni
PasarModern.com – Angka yang mengejutkan muncul dari data baseline terbaru tahun 2025: sebanyak 15.479 unit rumah tidak layak huni (rutilahu) tersebar di 165 desa di 15 kecamatan se-Kabupaten Bandung Barat (KBB). Angka ini bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata tentang kemiskinan dan tantangan kesejahteraan yang membutuhkan penanganan mendesak.
Menghadapi realitas ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat melalui Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) menggulirkan program inovatif bernama “KBB Merenah”. Program ini dirancang sebagai solusi untuk merenovasi hunian warga yang rusak menjadi tempat tinggal yang aman, sehat, dan bermartabat. Namun, pertanyaan besar tetap muncul: apakah program ini bisa mengatasi ketertinggalan yang begitu besar?
Skala Masalah yang Mengkhawatirkan
Kepala Disperkim KBB, Anni Roslianti, menjelaskan bahwa program KBB Merenah lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi sosial masyarakat. Ini adalah respons cepat pemerintah daerah terhadap fakta lapangan yang tidak bisa lagi diabaikan.
“KBB Merenah sebagai respons terhadap kepedulian sosial yang berangkat dari banyaknya rumah tidak layak huni. Tujuannya jelas, yaitu mengatasi masalah rutilahu menjadi layak huni,” ujar Anni saat ditemui di kantornya di Ngamprah, Selasa (5/8/2025).
Belasan ribu unit rutilahu tersebut adalah episentrum dari berbagai masalah turunan. Kondisi bangunan yang reyot, sanitasi buruk, dan ventilasi yang minim menjadi ancaman serius bagi kesehatan penghuninya, memicu berbagai penyakit pernapasan dan kulit. Lebih dari itu, kondisi ini turut menggerus produktivitas dan melanggengkan lingkaran kemiskinan.
KBB Merenah: Jurus Baru Pemkab Memangkas Birokrasi
Salah satu terobosan utama dari program KBB Merenah adalah penyederhanaan proses. Menurut Anni, program ini dirancang untuk memangkas alur birokrasi yang sering kali dianggap berbelit dan lama oleh masyarakat, terutama jika dibandingkan dengan skema bantuan sosial (bansos) konvensional.
“Pada intinya, KBB Merenah itu memangkas regulasi melalui bansos yang prosesnya dianggap terlalu lama oleh masyarakat,” jelasnya.
Dengan mekanisme yang lebih gesit, Pemkab Bandung Barat berharap bantuan renovasi dapat lebih cepat sampai ke tangan warga yang membutuhkan. Pada tahun 2025, komitmen ini mulai diwujudkan melalui alokasi anggaran yang konkret.
Rincian Bantuan Renovasi Tahun 2025
Berdasarkan data yang dihimpun, total alokasi perbaikan rutilahu untuk tahun 2025 adalah sebagai berikut:
- APBD Murni 2025: Sebanyak 265 unit rumah.
- Bantuan Pemprov Jabar: Sebanyak 40 unit, terbagi untuk Desa Sukatani (20 unit) dan Desa Jayagiri di Kecamatan Lembang (20 unit).
- APBD Perubahan 2025: Terdapat tambahan alokasi untuk 100 unit rumah lagi.
“Alhamdulillah di APBD perubahan 2025 ini, ditambah lagi 100 unit rutilahu yang akan diperbaiki,” ungkap Anni dengan nada optimis.
Jika ditotal, setidaknya ada 405 unit rumah yang akan direnovasi sepanjang tahun 2025. Angka ini menunjukkan keseriusan pemerintah, namun juga membuka tabir ironi yang lebih besar.
Ironi di Tengah Angka: Laju Perbaikan vs. Jumlah Kebutuhan
Meskipun 405 unit adalah langkah maju, angka tersebut terasa kecil jika disandingkan dengan total kebutuhan yang mencapai 15.479 unit. Secara matematis sederhana, jika laju perbaikan stagnan di angka 400-an unit per tahun, dibutuhkan waktu lebih dari 38 tahun untuk menuntaskan seluruh rutilahu di KBB. Sebuah penantian yang terlalu lama bagi warga yang hidup dalam kerentanan.
Ironi ini semakin tajam ketika melihat besarnya alokasi Dana Desa yang digelontorkan pemerintah pusat, yang rata-rata mencapai Rp1 miliar per desa. Dana tersebut banyak terserap untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan gedung. Sementara itu, “infrastruktur” paling dasar bagi sebuah keluarga, yaitu rumah yang layak, masih menjadi persoalan pelik yang seolah berjalan di tempat dari tahun ke tahun.
Dampak Multidimensi Rutilahu
Persoalan rutilahu jauh melampaui sekadar tembok yang rapuh atau atap yang bocor. Dampaknya bersifat multidimensi, menyentuh setiap aspek kehidupan penghuninya.
Ancaman Kesehatan dan Produktivitas
Rumah tanpa sanitasi memadai adalah sarang kuman. Ventilasi yang buruk menyebabkan sirkulasi udara tidak sehat. Kondisi ini secara langsung berkorelasi dengan tingginya kasus penyakit seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan masalah kesehatan lainnya. Warga yang sering sakit tentu akan mengalami penurunan produktivitas, yang pada akhirnya menyulitkan mereka keluar dari jerat kemiskinan.
Kerentanan Sosial dan Psikologis
“Secara psikologis dan sosial, penghuni rutilahu dapat merasa terisolasi dan rendah diri, sehingga mempengaruhi kesejahteraan mental mereka,” ujar Anni.
Perasaan malu, minder, dan terpinggirkan dari lingkungan sosial adalah beban tak kasat mata yang harus ditanggung. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan seperti ini juga berisiko kehilangan rasa percaya diri, yang dapat berdampak pada performa akademis dan perkembangan sosial mereka. Selain itu, konstruksi yang tidak kokoh juga menciptakan rasa was-was dan tidak aman, terutama saat menghadapi cuaca ekstrem atau potensi bencana alam.
Menatap ke Depan: Sinergi Pentahelix sebagai Kunci
Menyadari bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, Disperkim KBB mendorong penerapan konsep pentahelix sebagai strategi jangka panjang. Konsep ini menekankan kolaborasi lintas sektor untuk mengakselerasi penanganan rutilahu.
Kelima unsur dalam pentahelix adalah:
– Pemerintah: Sebagai regulator dan fasilitator utama.
– Masyarakat/Komunitas: Sebagai subjek sekaligus objek yang berpartisipasi aktif.
– Akademisi: Menyumbangkan hasil riset dan kajian untuk solusi yang efektif.
– Dunia Usaha (Swasta): Berkontribusi melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dan investasi sosial.
– Media: Berperan dalam amplifikasi informasi, pengawasan, dan edukasi publik.
“Pentahelix menekankan pentingnya sinergi dan kerja sama antar kelima elemen tersebut untuk mencapai tujuan bersama, khususnya penanganan rumah tidak layak huni,” pungkas Anni.