Pentingnya Kesadaran Bersama dalam Mengelola Ruang Bersama
Parkir sembarangan di kawasan permukiman sering kali menjadi sumber konflik antarwarga. Dari sekadar parkir “sebentar” di depan pagar rumah orang lain, hingga meninggalkan mobil berjam-jam di jalan sempit tanpa izin, semua tindakan tersebut berpotensi memicu gesekan sosial. Meski terlihat sepele, masalah ini bisa dicegah jika ada kesadaran kolektif tentang kepemilikan ruang bersama.
Etika bertetangga yang diterapkan di ruang bersama, khususnya jalan depan rumah, berkaitan erat dengan kesadaran bahwa ruang tersebut adalah milik bersama. Meskipun berada di depan rumah pribadi, jalan tersebut tetap tunduk pada aturan. Hal ini disampaikan oleh Dosen Sosiologi FISIP Unair Claudia Anridho SAnt, MSosio, yang menekankan pentingnya pengertian akan hak dan kewajiban dalam penggunaan ruang umum.
Aturan mengenai penggunaan jalan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Salah satu poin pentingnya melarang aktivitas yang mengganggu akses jalan, baik itu jalan umum maupun jalan depan rumah warga. Aturan ini menjadi dasar hukum penting bagi siapa pun yang merasa terganggu karena aksesnya terhalang kendaraan.
Konflik sering muncul karena banyak permukiman, terutama perumahan padat, memiliki jalan sempit. Ketika satu mobil parkir sembarangan, akses dua arah bisa langsung terganggu. Apalagi jika parkirnya persis di depan pintu pagar rumah orang dan pemilik kendaraan tidak bisa dihubungi atau bahkan tidak diketahui siapa pemiliknya. Ini jelas menghambat aktivitas penghuni rumah.
Meski hanya sebentar, tindakan tersebut dinilai kurang etis dan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran norma sosial. Dari sisi etika, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, jangan parkir tepat di depan pagar rumah orang lain. Kedua, pikirkan durasi, bila terpaksa parkir, jangan terlalu lama. Ketiga, tetap minta izin terlebih dahulu. Apalagi sampai parkir permanen. Itu jelas tidak etis kecuali memang sudah ada izin dan kesepakatan. Jika nanti terjadi apa-apa dengan kendaraan itu, jangan sampai menyalahkan pemilik rumah juga.
Sekalipun sudah mengantongi izin dari pemilik rumah, tetap perlu ada timbal balik. Claudia juga menyinggung keterlibatan pemimpin lingkungan seperti ketua RT/RW yang memegang peran strategis. Mereka bisa menjadi contoh dalam menciptakan budaya saling menghormati antarwarga. Termasuk mengatur sistem parkir di wilayahnya. Bisa juga dibuat sistem iuran bagi yang menitip kendaraan. Lalu disediakan petugas jaga, atau sistem piket dari warga.
Lalu, bagaimana jika seseorang memarkir kendaraan di jalan depan rumahnya sendiri? Parkir di jalan depan rumah sendiri hanya bisa dibenarkan jika tidak mengganggu kelancaran lalu lintas dan masih memungkinkan akses dua arah. Jika tidak, tetap saja dapat menimbulkan konflik. Kalau kondisi jalan hanya cukup untuk satu mobil lewat, maka parkir di depan rumah sendiri pun tidak etis. Sebab, jalan itu tetap merupakan akses umum yang digunakan bersama, bukan milik pribadi.
Lantas bagaimana jika ingin menyampaikan keberatan ke tetangga soal parkir sembarangan? Claudia menyarankan untuk mengutamakan komunikasi yang komunikatif. Artinya, penyampaian pesan dilakukan secara jelas, tepat, dan mempertimbangkan karakter masing-masing pihak. Jika merasa canggung menyampaikan langsung, bisa minta bantuan pihak ketiga. Tapi intinya, tidak boleh ada ego berlebihan. Kita perlu menerapkan tepa slira, atau tenggang rasa.
Claudia menutup dengan saran untuk warga yang tinggal di wilayah padat dengan keterbatasan lahan parkir. Gunakan sistem sewa lahan bersama, atur iuran secara transparan, dan buat aturan tertulis agar lebih jelas dan efektif. Ini akan menjaga kohesi sosial dan menghindari konflik yang tidak perlu.