Perlambatan Pembangunan Infrastruktur di Tahun Pertama Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto
Pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia mengalami perlambatan di tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini terlihat dari rendahnya penyerapan anggaran dan progres fisik yang belum memenuhi ekspektasi. Meski sejumlah megaproyek seperti Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa sempat menjadi fokus utama selama masa kampanye, hingga saat ini eksekusi proyek tersebut masih dalam tahap pengkajian.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, hingga awal Juli 2025, pihaknya hanya berhasil menyerap anggaran sebesar Rp21,55 triliun dari total pagu TA 2025 sebesar Rp71 triliun. Penyerapan anggaran mencapai 29,21% dan progres pembangunan fisik baru mencapai 33,85%. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang mencapai 34-35%.
Dody menjelaskan bahwa perlambatan ini disebabkan oleh permasalahan politik anggaran di awal kepemimpinan Presiden Prabowo. Pemerintah melakukan efisiensi anggaran dan revisi alokasi beberapa kali pada awal tahun. Meski demikian, ia tetap optimis bahwa target penyerapan anggaran sebesar 93% dan progres fisik lebih dari 90% bisa tercapai pada Desember 2025.
Usulan Tambahan Anggaran untuk Proyek Nasional
Meskipun penyerapan anggaran di paruh pertama cenderung rendah, Kementerian PU kembali mengajukan permohonan tambahan anggaran TA 2025 senilai Rp12,5 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung proyek baru yang direkomendasikan langsung oleh Presiden serta menyelesaikan proyek yang sedang berjalan.
Dalam rinciannya, usulan tambahan anggaran sebesar Rp7,05 triliun akan dialokasikan untuk Direktorat Jenderal Sumber Daya Air guna mendukung pembangunan infrastruktur irigasi swasembada pangan senilai Rp6,09 triliun dan percepatan proyek Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) senilai Rp956,9 miliar.
Megaproyek Giant Sea Wall Masih Dikaji
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyampaikan rencana pembangunan Giant Sea Wall sepanjang pantai utara Jawa dengan estimasi biaya hingga US$80 miliar. Proyek ini akan membentang sepanjang 500 kilometer dari Banten hingga Gresik dan diperkirakan memakan waktu 15 hingga 20 tahun.
Untuk menangani pelaksanaan proyek tersebut, Prabowo berencana membentuk badan otorita khusus. Ia juga telah memerintahkan tim untuk melakukan road show keliling dan akan segera membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkap bahwa saat ini pihaknya tengah menyiapkan peta jalan (blueprint) proyek tersebut. AHY menegaskan bahwa konstruksi GSW harus didampingi dengan perencanaan studi yang kuat agar tidak terjadi kebocoran anggaran atau inefisiensi.
Dampak Ekonomi dari Perlambatan Infrastruktur
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai perlambatan pembangunan infrastruktur strategis nasional dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan jika tidak segera ditangani. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Carmelita Hartoto, menjelaskan bahwa kondisi ini berdampak terhadap ekosistem usaha yang lebih luas, termasuk sektor konstruksi, manufaktur, logistik, dan UMKM.
Ia menekankan pentingnya percepatan realisasi proyek infrastruktur, khususnya yang sempat tertunda. Kadin juga aktif mendorong skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk proyek yang sudah memiliki kontrak maupun inisiatif baru yang layak secara ekonomi.
Pandangan Ekonom tentang Megaproyek Infrastruktur
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa rencana pembangunan megaproyek seperti Giant Sea Wall perlu ditunda di tengah tantangan ekonomi yang sedang dihadapi. Menurutnya, megaproyek ini tidak memberikan dampak langsung seperti pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat atau peningkatan daya beli.
Wijayanto menilai bahwa proyek yang boros anggaran dan tidak memberikan dampak langsung bagi masyarakat wajib ditunda. Ia menilai kondisi fiskal Indonesia pada tahun ini dan 2026 akan sangat berat.