Kilas Klaten
– Sudah puluhan tahun wacana pembangunan jembatan penghubung Pulau Jawa dan Pulau Bali muncul di permukaan.
Namun hingga kini, rencana itu selalu mentok. Entah karena alasan ekonomi, lingkungan, atau mitos?
Ya, di luar alasan teknis dan politis, ada cerita yang terus bergulir dari mulut ke mulut:
konon, membangun jembatan Jawa-Bali bisa mengundang bencana.
Sebuah keyakinan yang begitu lekat terutama di masyarakat Bali, yang memegang kuat tradisi dan ajaran leluhur.
Dari Infrastruktur ke Isu Sakral
Secara teknis, membangun jembatan sepanjang sekitar 2,5 kilometer dari Banyuwangi ke Gilimanuk bukanlah hal yang mustahil.
Banyak pihak, terutama dari sisi industri dan logistik, memandang proyek ini bisa mempercepat arus barang dan orang antara dua pulau yang sama-sama padat aktivitasnya.
Namun, penolakan justru datang dari pihak yang tak bisa diabaikan: masyarakat dan tokoh adat Bali.
Bukan tanpa alasan. Masyarakat Bali percaya bahwa
Selat Bali bukan sekadar bentangan laut biasa
, melainkan batas sakral antara dua dunia yang berbeda:
Pulau Jawa yang maskulin, dan Pulau Bali yang feminin.
Dalam kepercayaan lokal, ada keseimbangan kosmis yang dijaga oleh laut itu.
Menghubungkan keduanya secara langsung dikhawatirkan akan mengganggu tatanan spiritual.
Ibarat menggabungkan dua kutub berbeda tanpa restu semesta.
Mitos Leak dan Ratu Pantai Selatan
Cerita rakyat juga menyebut-nyebut tentang kehadiran sosok-sosok gaib di wilayah Selat Bali, termasuk legenda
Ratu Pantai Selatan
yang sangat terkenal di Pulau Jawa, dan
Leak
, sosok supranatural yang diyakini menghuni wilayah Bali.
Ada keyakinan bahwa jembatan bisa menjadi “jalan tol” bagi makhluk-makhluk gaib yang seharusnya tak saling berbaur antara Jawa dan Bali. Jika “gerbang alam” itu dibuka,
maka bencana bisa saja datang
—mulai dari bencana alam hingga konflik sosial.
Itulah sebabnya, setiap ada wacana jembatan Jawa-Bali, tak sedikit tokoh spiritual Bali yang langsung menyuarakan penolakan.
Mereka percaya bahwa
alam Bali harus tetap dijaga kesuciannya
, dan pintu masuk ke pulau ini sudah cukup diatur lewat jalur laut dan udara yang telah ada.
Antara Rasionalitas dan Kearifan Lokal
Tentu, di era modern seperti sekarang, sebagian orang mungkin akan menilai mitos ini hanya sebagai bentuk ketakutan yang tak berdasar.
Namun tak bisa dipungkiri,
mitos dan budaya adalah bagian dari realitas sosial.
Bahkan, lebih kuat daripada sekadar data dan angka.
Pemerintah sendiri hingga kini selalu mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam merancang proyek-proyek besar seperti ini.
Menteri PUPR beberapa tahun lalu sempat menyebut bahwa proyek jembatan Jawa-Bali bukan prioritas, terutama karena alasan ekologi dan “pertimbangan lokal.”
Dengan kata lain, meski tidak secara eksplisit menyebut mitos,
faktor spiritual dan budaya tetap menjadi bahan pertimbangan yang serius.
Perlukah Jembatan Itu?
Jika pertanyaannya adalah “mampukah Indonesia membangun jembatan itu?” jawabannya mungkin ya. Tapi jika ditanya “haruskah jembatan itu dibangun?” maka jawabannya lebih rumit.
Dalam dunia yang makin terhubung ini, bukan berarti semua harus disambungkan secara fisik. Kadang,
jarak adalah bentuk penghormatan
terutama terhadap nilai-nilai yang sudah hidup lebih lama dari peradaban modern itu sendiri.
Dan mungkin, itulah pesan dari mitos jembatan Jawa-Bali:
bukan soal takut membangun, tapi soal tahu kapan untuk tidak melangkah lebih jauh.***