Kritik terhadap Pengelolaan Trans Semarang
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, memberikan kritik tajam terhadap pengelolaan layanan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang. Menurutnya, berbagai masalah yang terjadi mulai dari kondisi armada hingga kesejahteraan para pengemudi menunjukkan sistem yang tidak terkelola dengan baik.
Djoko mengungkapkan bahwa kritik ini bukan tanpa dasar. Ia mengaku sering menggunakan Trans Semarang dan berdialog langsung dengan para pengemudi. Dari pengalamannya di lapangan, ia melihat banyak ketimpangan yang belum terselesaikan.
“Saya hampir setiap hari naik Trans Semarang. Saya tahu persis kondisinya. Saya juga sering wawancara dengan pengemudinya. Ya, saya prihatin,” ujarnya kepada wartawan.
Salah satu masalah utama menurut Djoko adalah absennya pengawasan. Meskipun Trans Semarang berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), hingga kini belum memiliki dewan pengawas. Hal ini disebutnya sebagai kesalahan besar.
“Kerja tanpa pengawasan itu bagaimana? Bagaimana audit keuangannya? Ini BLUD kok tidak ada dewan pengawasnya,” kata Djoko.
Dia juga menyampaikan kekhawatiran terkait sistem penggajian pengemudi. Semua sopir, baik yang mengemudikan bus besar, sedang maupun feeder menerima gaji yang sama, padahal tantangannya berbeda. Kondisi ini menambah beban pengemudi yang sudah bekerja dalam situasi tidak layak.
“Saya lihat sopir itu sedih, maaf ya, kumuh, lusuh, pakai lengan panjang berdasi. Siang hari panas, AC tidak menyala, tetapi tetap dipaksakan jalan. Padahal SOP-nya jelas, kalau AC mati, tidak boleh jalan. Itu sudah dibayar, kenapa dibiarin? Ini ada ketidakberesan pengelolaan Trans Semarang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Djoko menyoroti maraknya insiden kecelakaan dan bus terbakar yang menunjukkan kurangnya pelatihan bagi pengemudi. Ia menilai alokasi dana sebesar Rp 260 miliar untuk layanan transportasi massal di Semarang seharusnya cukup untuk membenahi layanan, termasuk mengganti armada yang sudah tidak layak. Namun, kenyataannya armada masih beroperasi dalam kondisi buruk.
“Lihat bis bobrok. Itu harusnya sudah diganti. Tahun depan semua bus besar diganti saja, kecuali feeder dan bus koridor Mateseh yang masih layak,” tuturnya.
Djoko juga mengkritik sikap pasif pemerintah daerah yang baru bertindak setelah terjadi insiden fatal. Ia membandingkan dengan daerah lain seperti Jakarta, Solo, Banyumas, dan Jogja yang dinilai lebih baik dalam pengelolaan transportasi.
“Perbandingannya daerah lain, Jakarta ya jauh. Kalau sama Solo ya bagus Solo. Sama Banyumas ya bagus Banyumas. Jogja ya bagus. Semarang kalah,” ujarnya.
Menurut Djoko, jika pejabat di Pemkot Semarang diwajibkan menggunakan Trans Semarang minimal seminggu sekali, mereka akan langsung merasakan sendiri buruknya layanan. Ia menyarankan agar Trans Semarang tidak lagi dikelola di bawah Dinas Perhubungan, melainkan langsung di bawah Wali Kota dengan pengelolaan profesional.
“Kepala Dishub-nya tidak sanggup ya sudah, cari orang profesional, jangan ASN. Gaji sopir UMR, kerja seharian, malam masih narik ojek. Ini sudah tidak sehat. Sopir harus sejahtera supaya bisa memberikan layanan yang layak,” katanya.
Dia mengusulkan adanya audit menyeluruh dan perombakan total manajemen Trans Semarang, termasuk pergantian kepala BLUD dengan figur profesional yang dibayar layak, tetapi memberikan hasil yang signifikan.
“Rombak total saja. Masa nunggu ada yang meninggal baru bertindak? Kita lihat seminggu ini ada perkembangan atau tidak. Kalau begini terus, nanti kecelakaan lagi, tidak tahu seperti apa bentuknya,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Semarang Iswar Aminuddin menyampaikan pentingnya evaluasi internal Trans Semarang untuk meminimalisir kejadian serupa terulang kembali. “Memang perlu ada sebuah evaluasi terhadap tata kelola dari hulu ke hilir tentang persoalan karena sudah banyak keluhan,” katanya.