Bandung: Kota yang Terjebak dalam Kecelakaan Waktu
Di kota ini, waktu tidak lagi diukur dengan jam tangan, tetapi dengan lamanya seseorang menekan rem. Jalan-jalan bukan lagi tempat untuk bertemu, melainkan barisan kemarahan yang tersembunyi dalam suara knalpot dan mesin.
Bandung, yang dulu penuh cinta seperti hujan Juni dalam puisi Sapardi Djoko Damono, kini tenggelam dalam antrean kendaraan yang tak pernah berakhir. Kota yang terus bergerak, namun tak pernah benar-benar sampai tujuan.
Laporan TomTom Traffic Index 2024 menyebutkan bahwa Bandung menjadi kota termacet di Indonesia dan menempati peringkat ke-12 di dunia. Angka ini menggambarkan realitas pahit yang dirasakan oleh warga setempat: kelelahan perjalanan telah menjadi bagian dari rutinitas harian.
Perjalanan sejauh 10 kilometer bisa memakan waktu lebih dari setengah jam. Bahkan, bisa lebih lama jika turun hujan. Termasuk pada pagi hari dan sore. Semua orang yang berkendara terlihat seperti sedang terburu-buru.
Dulunya, Bandung dirancang sebagai kota taman. Ruang untuk berjalan kaki, menyapa pohon, dan menghirup udara pagi. Namun, semua itu kini hanya menjadi kenangan yang tersimpan dalam buku sejarah tata kota.
Yang tersisa kini adalah ruang yang penuh dengan kendaraan saling bersaing mencari celah, serta suara kesal yang tenggelam dalam asap knalpot. “Saya malu Bandung jadi kota termacet. Tapi ini bukan hanya soal malu, ini soal keadaban bersama,” ujar Wali Kota Bandung, Farhan.
Namun, keadaban itu tampaknya telah kalah oleh kebiasaan. Masyarakat terbiasa menggunakan mobil dan motor pribadi, terbiasa melaju sendiri, dan lebih nyaman mendengar suara mesin daripada suara tetangga.
Pemerintah kota berusaha mengatasi rasa malu ini. Mereka membuat strategi, mengundang pembuat survei, mengajukan program digitalisasi trayek, dan menggaungkan wacana tol dalam kota.
DPRD menyarankan sistem ganjil-genap. Polisi merancang rekayasa lalu lintas. Namun, kota ini tidak hanya macet karena kendaraan. Ia juga macet karena ketidaktegasan dan ketidaksanggupan membuat kebijakan yang bisa menyentuh akar masalah.
Bandung, Labirin Tanpa Pusat
Akar masalah bukan hanya soal sempitnya jalan atau banyaknya kendaraan, tetapi cara kita memandang ruang kota. Bandung adalah rumah bagi lebih dari dua juta jiwa, namun juga menjadi tempat kerja dan rekreasi bagi ratusan ribu pendatang dari Cimahi, Sumedang, Garut, bahkan Jakarta. Arus manusia dan mesin yang benar-benar tak pernah surut.
Mari kita lihat salah satu simpul kemacetan yang sudah menjadi legenda urban: Jalan Dago. Dari Dago Atas menuju Simpang Dago, apalagi saat akhir pekan, laju kendaraan bisa lebih lambat dari langkah kaki. Di sanalah orang-orang mengeluh di balik kemudi, anak-anak tertidur di atas kendaraan orangtua mereka sebelum sampai tujuan, dan para pejalan kaki terpinggirkan di trotoar yang tak utuh.
Simpang Pasteur lebih tragis lagi. Ia adalah gerbang Bandung dari arah Jakarta. Begitu mobil keluar dari tol Cipularang, mereka seakan langsung dijemput oleh kemacetan yang tak sabar menunggu.
Sebuah sambutan yang membuat Bandung lebih mirip kota darurat bencana ketimbang kota tujuan wisata. Kota ini menjadi semacam labirin tanpa pusat.
Perencanaan ruang di Kota Bandung, tak lagi menimbang dari sisi manusia, tetapi lebih tunduk pada logika konsumsi dan kepentingan jangka pendek. Kawasan yang dulu tenang, kini berubah menjadi klaster rumah tinggal, hotel, dan mal. Semuanya muncul tanpa kendali.
Namun, Bandung tidak hanya macet secara fisik. Ia juga macet secara batin. Terjebak antara citra kota kreatif dan realitas kota yang compang-camping. Centang parenang dalam kebijakan transportasinya.
Kita mungkin mengagumi kota ini di dalam spanduk dan brosur, tapi membencinya diam-diam di dalam kendaraan yang tak bergerak. Mengumpat tetapi entah pada siapa.
“Semua orang ingin perubahan, tetapi tidak ada yang mau mengubah dirinya sendiri,” tulis Leo Tolstoy. Barangkali itu pula yang menjadi nasib Bandung. Kota yang diimpikan berubah, tetapi warganya enggan bergeser dari kebiasaan lama.
Kota Bukanlah Benda Mati
Mungkin kota ini perlu diam sejenak, bukan karena lampu merah, tetapi karena ia telah lelah dipaksa berlari tanpa arah. Mungkin kita semua perlu belajar kembali menjadi warga kota, bukan sekadar pengguna jalan.
Kita lupa bahwa kota bukanlah benda mati yang bisa diperas terus-menerus, tetapi ia tubuh hidup yang bisa sakit jika tak dijaga. Sebab pada akhirnya, kemacetan bukan sekadar masalah teknis.
Ia adalah cermin dari relasi kita dengan kota, dengan sesama, dan dengan waktu itu sendiri. Kita tak hanya kehilangan menit dan jam. Namun, kita telah kehilangan ruang batin untuk bernapas, kehilangan jeda untuk saling menyapa dan berbincang.
Dan, apabila semua ini dibiarkan, pertanyaan itu akan terus bergema: Kemacetan di Kota Bandung, siapa yang peduli? Bukan sebagai retorika, tetapi sebagai seruan sunyi yang menunggu dijawab, bukan di ruang rapat, tetapi di jalanan, di trotoar, di keputusan kecil sehari-hari.
Sebab, kota adalah kita. Dan, apabila kita diam, maka kota pun akan terus terjebak di tempat yang sama. Apakah wali kota dan jajarannya paham apa yang saya tulis ini? Semoga saja, apabila mereka masih sempat dan mau membaca.