Masalah Infrastruktur dan Kehidupan di Parung Panjang
Di tengah perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-80, masyarakat Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih menghadapi berbagai tantangan. Meski hanya beberapa jengkal dari Ibu Kota Jakarta, wilayah ini terkenal dengan kondisi jalan yang rusak parah dan masalah lingkungan yang mengganggu kualitas hidup warga.
Dari total 18,3 kilometer jalan di kawasan tersebut, sekitar 14 kilometer di antaranya dalam kondisi tidak layak. Jalan yang biasa digunakan untuk akses menuju wilayah lain sering kali menjadi tempat yang menyulitkan pengendara. Jika melintasi dari Tangerang, Anda akan menemui jalan cor beton yang baik. Namun, saat memasuki wilayah Parung Panjang, jalan aspal yang bergelombang dan rusak parah akan segera terlihat.
Kondisi jalan yang buruk disebabkan oleh beban kendaraan besar, terutama truk tambang. Sebanyak 2.500 truk dengan bobot 7 hingga 60 ton melintasi wilayah ini setiap hari. Jalanan yang tidak dirancang untuk menahan beban tersebut akhirnya mengalami kerusakan yang semakin parah.
Selain itu, pengaturan jam operasional truk tambang juga tidak lagi diterapkan secara ketat. Hal ini menyebabkan kemacetan yang ekstrem, terutama di pagi hari. Anak-anak yang berangkat ke sekolah harus melewati jalanan yang penuh dengan truk besar. Keadaan ini membuat warga merasa khawatir tentang keselamatan anak-anak.
Dalam enam tahun terakhir, hingga Februari 2025, tercatat 194 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di wilayah ini. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi jalan dan pengaturan lalu lintas sangat memprihatinkan.
Masalah Polusi dan Kesehatan Warga
Masalah polusi debu juga menjadi salah satu tantangan utama di Parung Panjang. Debu yang berasal dari aktivitas tambang dan lalu lintas truk besar sering kali mengganggu kesehatan warga. Hampir seluruh penduduk di sana menggunakan masker setiap kali keluar rumah atau berkendara.
Sutisna, 40 tahun, mengatakan bahwa debu semakin pekat saat musim kemarau. Ia sendiri selalu membawa masker setiap hari. Jika tidak, ia merasa sesak napas dan tenggorokan terasa tidak nyaman.
“Kita tidak meminta perekonomian kita naik 8 persen. Kami hanya ingin jalan diperbaiki dan truk tambang diatur agar bisa hidup tenang,” ujarnya.
Warga lain seperti Yanurisa Ananta, 33 tahun, mengaku tidak merasakan adanya kemerdekaan di tempat tinggalnya. Menurutnya, infrastruktur dan fasilitas publik di Parung Panjang sangat minim. Bahkan, fasilitas rumah sakit pun jauh dari jangkauan.
“Infrastruktur rusak parah, pengaturan jam truk bobrok, otoritas yang tidak banyak terlibat, dan warga yang terlalu sabar,” katanya. Ia bahkan berencana tidak ikut serta dalam perayaan apapun di bulan kemerdekaan ini karena merasa tidak merdeka.
Persepsi Masyarakat Terhadap Pemerintah
Wira Nurmansyah, warga lain di Parung Panjang, juga merasakan hal serupa. Menurutnya, pemerintah daerah lebih fokus pada kepentingan pengusaha daripada warga. Ia bahkan berpikir untuk pindah ke wilayah yang lebih aman dan nyaman.
“Napas saja belum bebas gara-gara debu truk tambang,” ujarnya.
Permasalahan di Parung Panjang tidak hanya terbatas pada infrastruktur jalan dan polusi. Masih ada banyak aspek lain yang perlu diperhatikan agar warga dapat hidup dengan nyaman dan layak. Dengan perbaikan yang signifikan, mungkin suatu hari nanti, kata “merdeka” benar-benar dapat dirasakan oleh warga Parung Panjang.