Kuningan Bau: Derita Rakyat di Balik Bendungan Cibeureum

Posted on

Proyek Strategis Nasional Bendungan Kuningan yang Menimbulkan Masalah

Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Kuningan, yang bernilai sebesar Rp513 miliar, seharusnya menjadi simbol kemajuan infrastruktur di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Namun, kenyataannya justru berbeda. Warga sekitar, terutama dari Dusun Wanaasih, Desa Randusari, Kecamatan Cibeureum, mengalami dampak negatif yang sangat signifikan.

Bau busuk menyengat dan pencemaran air telah menjadi masalah utama yang dialami warga. Masalah ini mulai muncul setelah pintu irigasi bendungan mulai dioperasikan pada September 2023. Warga yang tinggal hanya sekitar 30 meter dari outlet air merasa terganggu oleh bau menyengat dan kebisingan yang mengganggu kenyamanan hidup mereka.

Jumlah rumah yang terdampak mencapai 53 unit, atau sekitar 160 warga. Namun, data terbaru menunjukkan peningkatan jumlah warga terdampak hingga 135 KK. Masalah kesehatan juga semakin memprihatinkan, dengan banyak warga melaporkan gangguan seperti sesak napas, pusing, mual, sakit kepala, tenggorokan perih, mata merah, dan kelelahan luar biasa.

Tidak hanya manusia, hewan ternak pun menjadi korban. Beberapa domba milik warga dilaporkan meninggal atau sakit akibat terpapar air tercemar. Sumur warga juga tercemar, sehingga mengubah rasa air minum sehari-hari dan menambah ketidaknyamanan.

Relokasi atau Mati Perlahan

Pada Agustus 2025, warga memilih jalan terakhir dengan meminta relokasi ke tempat yang lebih aman. Mereka menuntut relokasi secepatnya jika pemerintah tidak mampu mengatasi masalah bau busuk di Bendungan Kuningan. Warga menuntut “ganti untung” bukan hanya kompensasi biasa, karena kehilangan kenyamanan dan kesehatan sudah terlalu lama.

Slogan lokal yang ironis terucap, “Kuningan Bau! Lain Kuningan Beu,” menunjukkan rasa frustrasi dan kekecewaan warga terhadap situasi yang terjadi.

Respons Pemerintah yang Tertunda

Sejak krisis muncul, pemerintah daerah menunjukkan respons cepat. Pada 23 Januari 2024, Bupati Kuningan turun langsung ke lokasi untuk mendengarkan keluhan warga dan memulai proses rapid test air, pemeriksaan ternak, serta sampel kesehatan warga untuk diuji di Labkesda. Pada 29 Januari 2024, rapat lintas sektoral diadakan bersama beberapa dinas terkait. Rencananya mencakup pembangunan kanopi dan blower di saluran outlet untuk meredam bau dan suara, serta menunda relokasi.

Namun, tindakan nyata masih belum terlihat. Seiring meningkatnya keluhan Februari–Agustus 2025, warga merasa tidak ada langkah nyata. Mereka merasa penderitaan mereka diabaikan dan menanyakan sisi kemanusiaan pemerintah.

Asal Usul Limbah Bau

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, Ir. I. Putu Bagiasna, MT., melalui Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA), Rismunandar, S.Hut., M.Si., menduga penyebab bau di Waduk Cibeureum berasal dari mekanisme biologis—pelapukan material organik yang terkubur saat pengisian waduk seperti tumbuhan, kayu, bahkan puing-puing bangunan dan septik tank—yang terurai dan menghasilkan gas bau saat air dialirkan melalui pintu irigasi.

Solusi seperti penanaman pohon (penyerap bau), bronjong, dan sistem terjunan yang landai dikatakan bisa meredam efek tekanan suara dan bau air, akan segera dilakukan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Ir. Usep Sumirat, melalui Kepala Bidang Pengendalian, Pemulihan dan Penegakan Hukum Lingkungan DLH Kuningan, Aca Supirta, SP., MP., pun senada dengan pernyataan Dinas PUTR tersebut.

Tuntutan Warga Terdampak

Warga Dusun Wanaasih, Desa Randusari, Kecamatan Cibeureum, memiliki tuntutan konkret:

  • Penanganan serius dan permanen dari BBWS serta Kementerian PU & LH.
  • Uji laboratorium berkala untuk air, udara, dan dampak kesehatan.
  • Pemeriksaan kesehatan yang mendalam bagi warga dan ternak terdampak secara berkelanjutan.
  • Relokasi dengan ganti untung layak, jika solusi teknis tidak mengentaskan bau menyengat.

Jika pemerintah terus abai, bukan tidak mungkin “Kuningan Bau” ini akan mencemari bukan hanya udara, tapi juga kepercayaan dan keadilan sosial bagi rakyat. Semua pihak harus membuka mata untuk mengawali kebijakan berkelanjutan dan inklusif—dimulai dari titik paling kecil, yaitu penyelamatan kehidupan dan kesehatan warga Wanaasih di Randusari.