Maruarar Sirait Hentikan Pemangkasan Rumah Subsidi

Posted on

Penjelasan Menteri Perumahan tentang Pembatalan Rencana Pengurangan Luas Rumah Subsidi

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, secara resmi memutuskan untuk mencabut wacana pengurangan luas bangunan rumah subsidi menjadi 18 meter persegi. Keputusan ini diumumkan dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR, Senayan, pada Kamis (10/7/2025). Ara, sapaan akrab Menteri PKP, menyampaikan permintaan maaf atas ide yang sebelumnya dia ajukan.

Menurut Ara, tujuan dari rencana tersebut adalah untuk menjawab keinginan generasi muda yang ingin memiliki rumah di kota-kota besar. Namun, karena harga tanah yang tinggi, maka muncul gagasan untuk mengurangi luas bangunan. Meski niatnya baik, Ara mengakui bahwa ide tersebut tidak tepat dan perlu dipertimbangkan kembali.

“Kami sudah mendengar banyak masukan, termasuk dari anggota DPR Komisi V. Oleh karena itu, saya terbuka untuk menyampaikan permintaan maaf dan mencabut ide tersebut,” ujar Ara, yang disambut tepuk tangan oleh peserta rapat.

Rencana Awal dan Perubahan Aturan

Sebelumnya, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman berencana menurunkan batas minimal luas rumah subsidi, baik untuk tanah maupun bangunan. Rencana ini tertuang dalam draf aturan baru yang sedang dirancang, yaitu Keputusan Menteri PKP Nomor…/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Perumahan Kredit/Pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan.

Dibandingkan dengan aturan sebelumnya, yakni Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, terjadi penurunan pada batas minimal luas tanah dan bangunan. Sebelumnya, luas tanah minimal adalah 60 meter persegi, namun kini direncanakan menjadi 25 meter persegi. Sementara luas bangunan sebelumnya 21 meter persegi, kini direncanakan menjadi 18 meter persegi.

Namun, batas maksimal luas rumah subsidi tetap sama, yaitu 200 meter persegi untuk tanah dan 36 meter persegi untuk bangunan.

Reaksi Publik dan Kritik dari Pakar

Wacana ini sempat memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak yang menilai bahwa pengurangan luas bangunan menjadi 18 meter persegi tidak manusiawi. Bahkan, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, mengkritik rencana tersebut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang rumah.

Fahri menegaskan bahwa jika luas bangunan hanya 18 meter persegi, maka rumah tersebut akan langsung masuk kategori tidak layak huni. Menurutnya, standar ruang per orang seharusnya minimal 7,2 meter persegi. Dengan ukuran yang terlalu kecil, rumah tidak lagi menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang, melainkan hanya tempat “bertahan hidup”.

Selain itu, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto, juga menyampaikan kekhawatiran terhadap dampak sosial dari rencana ini. Ia menilai bahwa rumah dengan luasan ultra-mikro bisa menciptakan tekanan jangka panjang pada ekosistem sosial perkotaan.

Implikasi Sosial dan Kelayakan Hunian

Arsitek yang akrab disapa Boegar ini menekankan bahwa meskipun ukuran rumah bisa memenuhi fungsi dasar sebagai tempat berteduh, kapasitas ruang yang sangat terbatas berpotensi menurunkan kualitas interaksi sosial dalam keluarga. Ruang yang sempit dapat menciptakan ketegangan dan bahkan konflik, terutama dalam keluarga yang memiliki anak-anak atau lansia.

Selain itu, ia menilai bahwa pendekatan ini justru bisa menjerumuskan penghuni ke dalam siklus kemiskinan baru, yaitu kemiskinan ruang dan kualitas hidup. Rumah seharusnya menjadi alat pemberdayaan sosial, bukan sekadar bangunan fisik murah.

Penutup

Setelah adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman akhirnya memutuskan untuk mencabut rencana pengurangan luas bangunan rumah subsidi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan publik dan siap untuk memperbaiki kebijakan yang kurang tepat.