Opini: Tantangan Pengelolaan Ruang Udara

Posted on

Peran Ruang Udara dalam Kedaulatan dan Pembangunan Ekonomi

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki ruang udara yang sangat luas. Luasnya ruang udara mencapai lebih dari 7 juta kilometer persegi, yang mencakup dua flight information region (FIR) utama: FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang. Pengelolaan ruang udara ini menjadi tantangan besar karena harus memenuhi berbagai kepentingan, termasuk pertahanan nasional dan penerbangan sipil.

Dalam konteks pengelolaan ruang udara, terdapat perbedaan pendekatan antara sektor pertahanan dan sektor penerbangan sipil. Di satu sisi, sektor pertahanan menekankan pentingnya keamanan nasional melalui pembagian ruang udara menjadi enam kawasan khusus, sesuai dengan RUU Pengelolaan Ruang Udara (PRU). Di sisi lain, sektor penerbangan sipil menginginkan pembatasan yang lebih fleksibel dan tidak permanen, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Benturan kepentingan ini tidak hanya memengaruhi efisiensi operasional tetapi juga berdampak pada ekonomi dan keamanan. Dalam konteks internasional, prinsip kedaulatan udara diakui melalui Konvensi Chicago 1944, yang diadopsi oleh Indonesia. Menurut Konvensi tersebut, setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa negara berdaulat atas wilayah udaranya untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan. Namun, regulasi nasional masih terfragmentasi.

Regulasi yang Masih Terpecah dan Dampaknya

Kurangnya UU khusus tentang pengelolaan ruang udara menyebabkan pengaturan yang terpisah-pisah, sehingga menimbulkan disinergi dan ketidakkoordinasian antarsektor. Misalnya, Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertanggung jawab atas aspek keamanan, sementara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengawasi penerbangan sipil. Disinergi makin tajam ketika kepentingan militer bertabrakan dengan pertumbuhan sektor aviasi komersial, yang berkontribusi signifikan terhadap PDB nasional melalui pariwisata dan logistik.

Jika terdapat sekat-sekat permanen dan banyaknya awan tebal di ruang udara Indonesia, maka rute penerbangan sipil akan terbatas dan harus menempuh jarak yang lebih jauh dari semestinya. Dari perspektif sektor pertahanan, pengelolaan ruang udara harus diprioritaskan untuk menjaga integritas wilayah nasional. RUU PRU Pasal 27 (2) menetapkan tiga status kawasan udara, yaitu kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, dan kawasan udara berbahaya. Pembagian ini didasarkan pada PP No. 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia, yang mengklasifikasikan kawasan terlarang dan terbatas untuk mencegah pelanggaran.

Pembagian kawasan udara di atas esensial untuk menghadapi ancaman seperti pelanggaran wilayah oleh pesawat asing, yang sering terjadi di perbatasan Laut Cina Selatan atau Selat Malaka. Tanpa kawasan khusus, risiko infiltrasi meningkat, terutama di era drone dan teknologi canggih.

Prinsip Efisiensi dan Keselamatan dalam Penerbangan Sipil

Di sisi lain, sektor penerbangan sipil menekankan prinsip efisiensi dan keselamatan berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009. Pasal 264 UU ini mengatur bahwa kawasan udara berbahaya harus dikelola dengan pembatasan kegiatan penerbangan yang bersifat tidak tetap dan tidak menyeluruh, disesuaikan dengan kondisi alam seperti cuaca buruk, gunung berapi aktif, atau bencana. Pasal 5 UU tersebut menegaskan kedaulatan udara, tetapi Pasal 401 mengatur sanksi bagi pelanggaran, termasuk pesawat asing yang memasuki wilayah tanpa izin.

Sektor sipil, diwakili oleh Kemenhub dan operator seperti Garuda Indonesia atau AirNav Indonesia, memandang pembatasan ruang udara secara permanen akan menghambat lalu lintas udara komersial. Misalnya, kawasan militer yang luas bisa memaksa rute penerbangan sipil memutar, hingga meningkatkan biaya bahan bakar dan waktu tempuh. Padahal penerbangan sipil menyumbang sekitar 4,52% ke PDB Indonesia, dan menyumbang 6 juta lapangan kerja.

Solusi Kolaboratif dan Pendekatan Fleksibel

Untuk menyelesaikan dilema ini, diperlukan pendekatan kolaboratif. Salah satu best practices yang dapat dijadikan referensi adalah berkaca pada Eurocontrol yang berbasis pada ketentuan ICAO atau International Civil Aviation Organization, sebuah organisasi internasional yang mengelola lalu lintas udara di Eropa. Eurocontrol mengenalkan konsep flexible use of air-space (FUA) yang menyikapi ruang udara tidak lagi ditetapkan sebagai ruang udara “sipil” atau “militer” semata, tetapi dianggap sebagai satu kesatuan dan dialokasikan sesuai kebutuhan pengguna.

Setiap reservasi ruang udara yang diperlukan bersifat sementara, berdasarkan penggunaan waktu nyata dalam periode waktu tertentu. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, lalu lintas di ruang udara dapat dimonitor secara ketat. Ruang udara dapat disekat-sekat secara dinamis sesuai kebutuhan. Buka tutup ruang udara dapat dilakukan dalam hitungan detik yang ditentukan baik rute lateral maupun ketinggian vertikalnya.

Kawasan udara terlarang atau terbatas tersebut harus diumumkan dengan jelas melalui aeronautical information publication (AIP) atau notice to airmen (Notam) sehingga diketahui oleh seluruh pengguna ruang udara. Dalam situasi darurat di udara, seperti darurat akibat masalah teknis pesawat maupun karena cuaca ekstrem dan lainnya, diperlukan adanya koordinasi erat antara otoritas penerbangan sipil dan penerbangan militer, jika ada pesawat sipil yang harus memasuki kawasan terlarang dan terbatas.

Pendekatan kolaboratif tentunya dilakukan dengan landasan prinsip single act yang berkesinambungan dan regulasi top to bottom yang merujuk pada Chicago Convention dan standar ICAO guna menjaga compliance Indonesia oleh otoritas penerbangan sipil khususnya dalam aspek legislasi yang merupakan fondasi penting dalam efektivitas implementasi penerbangan suatu negara.

Harapan Masa Depan

Dilema pengelolaan ruang udara mencerminkan tantangan klasik antara keamanan negara dan pembangunan ekonomi. Sektor pertahanan yang menghendaki tiga kawasan udara khusus (terlarang, terbatas dan berbahaya) menjamin kedaulatan beserta 6 jenis kawasan lainnya. Sementara sektor penerbangan sipil mengharapkan pembatasan yang bersifat fleksibel untuk menjamin operasi penerbangan sipil.

Harapannya, UU PRU yang nanti disahkan dapat mengakomodir kedua kepentingan tersebut, yaitu melalui kawasan terlarang yang hanya pada lokasi yang sensitif saja; penerapan FUA pada kawasan udara terbatas dan berbahaya; serta pengembangan civil military cooperation in air traffic management (CMAC) yang meliputi seluruh instansi pemangku kepentingan di ruang udara dengan menggunakan sistem informasi yang terpadu.