Transformasi Transportasi Jakarta: Kunci Sukses dan Pelajaran untuk Seluruh Daerah
Transportasi yang terjangkau adalah kunci bagi setiap individu untuk menikmati peluang, kebebasan, dan kebahagiaan. Di Jakarta, transformasi sistemik transportasi telah membawa perubahan signifikan dalam mobilitas warga. Berdasarkan Indeks TomTom Traffic 2024, Jakarta kini berada di peringkat kelima nasional dan ke-90 dunia, jauh dari status kota termacet di Indonesia. Capaian ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari upaya konsisten sejak tahun 2004.
Angkutan umum menjadi tulang punggung mobilitas Jakarta. Dari TransJakarta yang beroperasi 24 jam, trotoar manusiawi, hingga integrasi tarif antarmoda—semua merupakan hasil dari kepemimpinan yang saling melanjutkan. Transformasi ini tidak hanya dilakukan oleh satu tokoh, tetapi melibatkan rantai kolaborasi pemimpin yang memiliki visi serupa.
Era Sutiyoso (2004–2007): Pendobrak Tradisi
Di awal 2000-an, Jakarta tenggelam dalam kemacetan yang parah. Sutiyoso mengambil langkah revolusioner dengan meluncurkan TransJakarta Koridor 1—sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Ia juga memperkenalkan Pola Transportasi Makro (PTM), yang menjadi dasar pengembangan transportasi ibu kota. Tanpa terobosan ini, Jakarta mungkin masih terjebak dalam kemacetan abadi.
Era Fauzi Bowo (2007–2012): Konsolidasi dan Ekspansi
Fauzi Bowo melanjutkan kebijakan yang sudah dimulai. Di bawah kepemimpinannya, TransJakarta berubah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), memberikan fleksibilitas operasional. Ini menjadi langkah strategis yang sering luput dari sorotan. Foke memilih pendekatan sistemik sesuai latar belakangnya sebagai birokrat.
Era Joko Widodo (2012–2014): Revolusi Tata Aturan Hukum dan Pendanaan Berkelanjutan
Jokowi mengubah paradigma transportasi dengan menjadikan angkutan umum sebagai layanan publik esensial. Ia mengamankan pondasi finansial melalui Perda Penyelenggaraan BRT, menjamin alokasi anggaran jangka panjang. Peremajaan armada dan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) menjadi standar baru. TransJakarta pun berubah menjadi BUMD, memperkuat akuntabilitas dan fleksibilitas.
Selama masa kepemimpinannya, Jokowi juga memperkenalkan Bus Tingkat Wisata untuk Kota Jakarta, serta melakukan pembangunan trotoar dan jalur sepeda. MRT Jakarta phase 1 juga diluncurkan, dan saat ini phase 2 sedang dalam proses pengerjaan.
Era Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017): Integrasi dan Demokratisasi
Ahok membawa terobosan radikal dengan mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder. Kebijakan ini menyatukan angkutan kecil dengan transportasi massal, sekaligus membuka akses bagi warga pinggiran. Ia juga membatasi gerak sepeda motor dengan melarang beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin.
Era Anies Baswedan (2017–2022): Humanisasi Ruang Kota
Anies menempatkan manusia sebagai pusat desain urban. Trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda seperti Bundaran HI, CSW, dan Dukuh Atas menjadi ruang hidup. Layanan terpadu JakLingko memperluas integrasi angkot yang sudah diupgrade tidak hanya dengan BRT tetapi juga MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu.
Era Heru Budi & Pramono Anung (2022–sekarang): Integrasi Metropolitan
Pada era ini, skala transformasi meluas secara dramatis. Gubernur Heru Budi Hartono dan Pramono Anung bersinergi untuk mengintegrasikan Jabodetabek sebagai satu ekosistem transportasi. Beberapa terobosan strategis dilakukan, seperti perluasan jaringan BRT TransJabodetabek, penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko, kebijakan insentif fiskal untuk daerah penyangga, serta penggratisan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.
Hasilnya nyata: volume kendaraan pribadi masuk Jakarta turun 18 persen (2023–2025), dan waktu tempuh Bekasi–Jakarta berkurang 40 menit. Angkutan umum di Jakarta kini mencakup 89,5 persen wilayah Jakarta.
Refleksi: Estafet yang Mengubah Takdir
Keberhasilan Jakarta menunjukkan bahwa transportasi umum hanya bermakna ketika kebijakan tak terputus oleh siklus politik. Pelajaran untuk seluruh kepala daerah antara lain:
- Kesinambungan adalah kunci. Kebijakan transportasi membutuhkan waktu lebih 10 tahun untuk berbuah.
- Integrasi mengalahkan proyek mercusuar. Penyatuan angkot, bus, dan rail lebih berdampak daripada pembangunan moda tunggal.
- Kolaborasi lintas batas wajib hukumnya. Isu metropolitan butuh koordinasi pusat-daerah.
Cita-cita Indonesia Emas 2045 menuju Indonesia Maju membutuhkan perhatian serius terhadap transportasi umum. Dengan contoh Jakarta yang berhasil membenahi angkutan umum dalam 20 tahun, pemerintah harus mulai bertindak sekarang agar target tersebut bisa tercapai.
Saat ini, ada 514 pemda di Indonesia, namun hanya 33 pemda yang mengalokasikan APBD untuk operasional transportasi umum. Tidak ada kota yang gagal membangun transportasi umum karena kurang dana, melainkan karena kurang keberanian untuk melanjutkan.