PasarModern.com, JAKARTA
– Penerapan kebijakan Zero Over Dimension Overloading (ODOL) dinilai tidak akan efektif tanpa perbaikan dan standarisasi infrastruktur jalan.
Tanpa penyesuaian daya dukung jalan, kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah baru, termasuk kenaikan biaya logistik.
Semua pihak sepakat bahwa Zero ODOL penting untuk menghapus praktik kendaraan yang melebihi kapasitas muatan dan dimensi yang diizinkan.
Namun, hingga kini, implementasinya masih terkendala, terutama akibat kondisi jalan yang belum memadai di daerah-daerah sentra produksi dan distribusi barang.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) “Mencari Solusi Penerapan Zero ODOL 2026” yang digelar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) baru-baru ini, Direktur Eksekutif Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Budi Wiyono, mengungkap sejumlah persoalan mendasar.
Menurutnya, perbedaan signifikan antara daya dukung jalan di Indonesia dengan standar internasional menjadi tantangan serius.
“Jika ini tidak diperbaiki, Zero ODOL justru bisa menyebabkan peningkatan biaya logistik karena memerlukan lebih banyak truk untuk mengangkut barang yang sama,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak jalan di Indonesia belum disesuaikan dengan perkembangan sistem angkutan internasional.
“Kita sudah pernah sampaikan ini ke Bappenas. Standar gandar harus sesuai perkembangan teknologi. Kerusakan jalan terjadi karena jalan memang tidak standar,” katanya.
Ia mencontohkan di Eropa, penggunaan single tires diterapkan untuk mengurangi beban kendaraan.
Selain itu, Indonesia juga belum memiliki standar angkutan yang spesifik berdasarkan jenis barang, misalnya untuk minuman atau hasil pertanian.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, menegaskan bahwa desain kendaraan di Indonesia umumnya mengadopsi model Eropa dan Amerika.
Namun, infrastruktur jalan di Indonesia tidak kompatibel dengan desain kendaraan tersebut.
“Di Eropa, daya angkut jalan (MST) sudah 13 ton, di banyak negara Asia 12 ton, bahkan China 14 ton. Sementara di Indonesia, MST jalan hanya 8-10 ton. Ini jelas akan bermasalah jika Zero ODOL diterapkan. Kendaraan dengan spesifikasi MST 13 ton dipaksa beroperasi di jalan berkapasitas 8 ton,” jelasnya.
Menurutnya, dampak kebijakan ini akan semakin berat di daerah.
Sesuai UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, uji KIR di daerah didasarkan pada daya dukung jalan setempat.
“Di Malang atau Garut misalnya, MST hanya 8 ton. Padahal, truk-truk itu melintasi wilayah berbeda. Dulu di UU No.14 Tahun 1992 ada jalan khusus, sekarang tidak ada lagi,” ungkapnya.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto, juga menyoroti belum pernah dilakukan audit kekuatan jalan tol.
“Belum pernah ada audit kekuatan jalan tol hingga saat ini. Kita perlu tahu berapa kekuatan sebenarnya, ketebalan, hingga penggunaan material,” katanya.
Pakar Transportasi Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, turut mengungkap penyebab carut-marutnya sistem transportasi Indonesia, yakni kebijakan dan infrastruktur yang masih parsial dan terfragmentasi.
Menurutnya, regulasi transportasi di Indonesia diatur berdasarkan moda transportasi secara sektoral tanpa payung hukum yang integratif.
“UU tentang Lalu Lintas, Pelayaran, Perkeretaapian, Penerbangan, dan Jalan berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, sistem transportasi nasional menjadi parsial, inefisien, dan gagal memenuhi kebutuhan konektivitas antar wilayah,” tuturnya.
Lebih jauh, ia menegaskan belum ada keterkaitan antara UU Transportasi, UU Penataan Ruang, dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Hal ini menyebabkan pembangunan transportasi tidak berpijak pada cetak biru nasional.
“Karenanya, pembentukan UU Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) yang terintegrasi, holistik, dan inklusif hingga ke tingkat desa menjadi sangat mendesak. Ini perlu dibenahi dulu agar Zero ODOL dapat diterapkan secara efektif,” pungkas Suripno.