Penolakan Masyarakat terhadap Pembangunan PLTP Cipanas
Masyarakat di sekitar Gunung Gede Pangrango menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Cipanas. Mereka mengkhawatirkan dampak negatif yang akan berdampak pada kehidupan mereka dan lingkungan sekitar. Kasus ini menambah daftar panjang penolakan terhadap proyek energi terbarukan tersebut.
Pada hari Kamis, 17 Juli, ratusan warga dari tiga desa—Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya—mengunjungi kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan PLTP. Aksi ini dipicu oleh surat undangan yang dikeluarkan pada 4 Juli 2025, yang meminta penggarap lahan untuk hadir dalam pemutakhiran data. Jika tidak hadir, lahan akan dianggap kosong.
Surat tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat, karena dianggap sebagai upaya untuk mengambil alih lahan yang selama ini digarap. Dalam surat kedua yang dikeluarkan pada 16 Juli 2025, lahan yang akan digunakan untuk “pemanfaatan panas bumi” ditetapkan seluas lebih dari 5 hektare. Surat ini ditandatangani oleh Kepala Balai Besar TNGPP dan dikirimkan kepada pejabat setempat.
Seorang warga yang berpeluang terdampak mengatakan bahwa mereka merasa didesak dan ditekan untuk menyerahkan lahan garapan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, yang mendampingi warga, menyatakan partisipasi publik dalam proyek ini sangat minim. Informasi yang diberikan tidak lengkap dan hanya sedikit perwakilan warga yang dilibatkan.
Aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai kebijakan energi terbarukan yang digencarkan pemerintah adalah “tipu-tipu belaka.” Mereka menilai bahwa kebijakan transisi energi bersih tidak adil dan justru memberatkan masyarakat sekitar proyek.
Cece Jaelani, salah satu tokoh penolak, dua kali berurusan dengan aparat kepolisian karena sikapnya menentang proyek PLTP Cipanas. Pada September 2024, ia diperkarakan menggunakan pasal penghasutan. Sebulan sebelumnya, ia dan 50 warga lainnya membubarkan pertemuan yang diinisiasi pihak pemerintahan desa tanpa melibatkan warga lainnya.
Perkara ini akhirnya dihentikan oleh polisi. Cece tidak bersalah. Namun, beberapa bulan kemudian, ia kembali dipanggil oleh polisi, kali ini dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun demikian, kasus ini tidak berujung pada vonis lantaran dipantau oleh Komnas HAM.
Cece mengatakan bahwa keberadaan PLTP Cipanas bisa mengancam sumber daya air dan ekosistem sekitar. Ia khawatir jika sumber air hilang, masyarakat akan menghadapi kesulitan besar. Penolakan terhadap proyek ini semakin kuat setelah masyarakat mengetahui bahwa aktivitas eksplorasi panas bumi sudah dimulai sejak November 2022.
Pada Juni 2022, pemerintah menunjuk PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) untuk mengerjakan rencana pembangunan panas bumi di Cipanas. Menteri Investasi/Kepala BKPM saat itu, Bahlil Lahadalia, memberikan persetujuan atas kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) kepada PT DMGP. PT DMGP merupakan anak perusahaan dari PT Sinar Mas yang didirikan pada 2022 untuk menjajaki peluang pengembangan bisnis Energi Bumi Terbarukan (EBT).
PT DMGP juga memiliki hubungan saham dengan PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA), yang bergerak di bidang pertambangan dan energi terbarukan. Target Sinar Mas adalah mengoperasikan proyek geotermal di tiga titik dengan total potensi energi mencapai 140 MW.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh BBC News Indonesia, hingga Januari 2024, PT DMGP telah melakukan berbagai tindakan di area eksplorasi seluas lebih dari 3.000 hektare. Termasuk survei geofisika, pemetaan bawah permukaan, dan peer review terkait hasil survei geofisika, geologi, dan geokimia.
Meski perusahaan sedang mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan eksplorasi panas bumi, masyarakat di Gede Pangrango tidak mendapatkan informasi apa pun. Cece mengatakan bahwa ketika pemahaman tentang ancaman proyek ini mulai tersebar, penolakan mulai diluncurkan.
Pada Juli 2024, masyarakat Gede Pangrango bergabung dengan Koalisi Nasional Tolak Geothermal dan berdemo di depan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pembangunan geotermal di Gede Pangrango belum berlangsung sampai hari ini dan masih berada di tahap persiapan.
Penolakan di Berbagai Wilayah
Penolakan terhadap proyek geotermal tidak hanya terjadi di Gede Pangrango, tetapi juga di berbagai wilayah lain di Indonesia. Di Padarincang, Banten, masyarakat mengibarkan bendera perlawanan terhadap rencana proyek geotermal sejak 2009. Penolakan semakin kuat setelah aktivitas pembukaan dilakukan pada 2015.
Di Dieng, Jawa Tengah, warga sempat menolak perluasan pembangunan proyek geotermal, PLTP Unit-2 Dieng, yang diinisiasi oleh PT Geo Dipa Energi pada 2022 silam. Menurut warga, PLTP akan mengancam sumber air dengan pencemaran. Meski ditolak, rencana itu tetap berlanjut.
Cerita ihwal geotermal tidak sebatas penolakan. Di PLTP Sorik Merapi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, geotermal berarti tragedi kecelakaan. Pada 2021, kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) mengakibatkan lima orang meninggal dan 46 lainnya menjalani perawatan di rumah sakit. Kejadian serupa terulang pada September 2022 dengan 79 orang dibawa untuk perawatan medis.
Energi ‘hijau’ tapi ekstraktif? Proses pengambilan panas bumi merupakan metode yang penuh risiko dan kehadirannya berkelindan dengan kesinambungan makhluk hidup di sekelilingnya. Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mencontohkan tahapan fracking, atau peretakan batuan dengan injeksi air kimia untuk mengambil panas di dalamnya.
Bank Dunia, saat itu, memberi pinjaman kepada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk pembangunan pembangkit panas bumi agar “Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan cara yang bersih dan ramah lingkungan.” Pembangunan ditargetkan di Ulubelu, Sumatra Selatan, dan Lahendong, Sulawesi Utara, dengan kapasitas pembangkit listrik yang dicanangkan menyentuh 150 MW.
Namun, langkah agresif pemerintah dalam menuntaskan geotermal, juga promosi “hijau” yang digencarkan lembaga pendanaan internasional, pada akhirnya, menutup potret lain dari sumber daya ini yang, tidak bisa dimungkiri, turut memberikan dampak buruk kepada masyarakat sekitar. “Yang disampaikan dari perspektif keuntungan iklimnya saja. Tapi, ini tidak melihat kerugian-kerugian langsung yang dialami masyarakat,” tandas Beyrra.
Beyrra mengatakan salah satu akarnya disumbang oleh paradigma para aktor berkepentingan—negara maupun pengusaha—yang melihat geotermal sebagai komoditas. Dengan menempatkan geotermal—wajah energi terbarukan—menjadi komoditas alih-alih solusi berkelanjutan, konsekuensi yang mengikuti yakni akumulasi keuntungan.
Laporan yang dibuat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) (2022), rilis pada 2022, menyatakan kegiatan eksplorasi panas bumi tidak pernah didefinisikan sebagai penambangan. Sekitar dua dekade lalu, pemerintah mengeluarkan kegiatan pencarian panas bumi dari sektor pertambangan dan memasukkannya ke dalam kategori energi terbarukan. Ini dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014. Tujuannya: menarik donor dari Bank Dunia serta mempercepat pengembangan geotermal.
Imbasnya, tulis laporan itu, eksplorasi panas bumi seperti memperoleh legitimasi mengeruk kandungan sumber daya alam dengan jumlah lebih besar tanpa harus merasa was-was dilabeli “kegiatan tambang”—yang citranya tidak “hijau.” Praktik di lapangan memberi petunjuk betapa proses-proses pengumpulan sumber daya geotermal, sebetulnya, tidak kalah ekstraktif dengan sektor pertambangan.
Kehadiran energi terbarukan digadang-gadang menjadi pintu penyelesaian atas krisis iklim yang semakin terasa efeknya. Tapi, perkembangan “energi bersih” ternyata juga tidak kalah bermasalah. Di sinilah sebutan kolonialisme hijau (green colonialism) muncul, sebuah fase baru yang merepresentasikan pengumpulan kapital berkedok pelestarian lingkungan. Kritik utama dari green colonialism ialah bahwa dia hanya wujud lain dari roda industri maupun pembangunan yang selama ini meminggirkan serta menghancurkan.
Dan ini, sepertinya, berlaku pula di Indonesia, dalam wajah geotermal. “Saya melihat geotermal ini satu arah. Warga tidak dilibatkan. Dan yang dibicarakan cuma percepatan pembangunan, bagaimana dananya masuk, atau swasta mana yang terlibat,” pungkas Beyrra. “Tidak ada soal perlindungan hak untuk masyarakat maupun lingkungan.”