Pendekatan WtE Perlu Memperhatikan Keberlanjutan dan Kesehatan Masyarakat
WWF Indonesia menyoroti pentingnya memastikan bahwa proyek waste to energy (WtE) berfokus pada keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Program Manager Plastic Smart Cities WWF Indonesia, Sekti Mulatsih menyatakan bahwa transformasi sampah menjadi energi sedang dikaji di berbagai kota. Ia menilai teknologi yang memanfaatkan gas dari tempat pembuangan akhir atau produksi biogas dapat menjadi bagian dari solusi transisi energi yang ramah lingkungan, asalkan dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan standar lingkungan yang ketat.
Sekti menekankan perlunya data ilmiah dan kajian dampak yang transparan dalam semua kebijakan dan teknologi yang digunakan dalam proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa teknologi yang dipilih tidak menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan masyarakat di masa depan. Ia berharap teknologi yang digunakan tidak menghasilkan emisi berbahaya dan jejak karbon yang tinggi, serta tidak menimbulkan risiko lingkungan yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Tantangan dalam Penerapan Proyek PSEL
Saat ini, proyek PSEL menghadapi tantangan berat, terutama dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di 33 provinsi. Isu-isu seperti tingginya investasi, kebutuhan teknologi yang kompleks, kesiapan infrastruktur, serta potensi dampak lingkungan dan kesehatan menjadi hambatan utama. Proyek-proyek ini berisiko gagal mencapai tujuannya jika tidak dikelola dengan baik.
CEO BPI Danantara Rosan P Roeslani menyatakan bahwa proyek PLTSa terbuka bagi semua investor, baik dalam maupun luar negeri. Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah parameter yang tidak bisa dinegosiasikan, termasuk harga listrik dari sampah. Harga yang ditetapkan sebesar 20 sen per kWh, sehingga tidak ada negosiasi lagi. Teknologi yang digunakan, industrinya, dan proses tender akan dilakukan secara terbuka dan transparan.
Total nilai investasi proyek ini bervariasi berdasarkan kapasitas dan lokasi. Meski begitu, skala proyek ini cukup besar dan strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap TPA serta mendukung transisi energi bersih di Indonesia. Kapasitas pengolahan sampah di setiap lokasi minimal 1.000 ton per hari. Di Jakarta, satu titik bisa menangani hingga 2.500 ton per hari, tergantung kebutuhan dan volume sampah.
Perspektif Ekonomi dan Pengelolaan Sampah
Strategi yang diungkapkan Rosan tampak mudah dijalankan, tetapi pengelolaan sampah tidak hanya berada di tempat pembuangan akhir. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa wacana proyek WtE lebih fokus pada rezim pengelolaan sampah. Secara keekonomian, mengubah sampah menjadi energi masih belum menguntungkan secara bisnis.
Menurut Bhima, saat ini biaya pembangunan PLTSa bisa mencapai US$ 5 juta–US$13 juta per megawatt, tergantung lokasi dan faktor tambahan lainnya. Nilai investasi ini lebih mahal dibandingkan dengan teknologi lain. Oleh karena itu, proyek ini belum menarik untuk investasi. Selain itu, tren transisi energi dunia tidak diarahkan ke WtE.
Selain itu, isu pengolahan sampah tidak hanya di TPA, tetapi juga dari pemilahan di rumah tangga. Bhima menambahkan bahwa pendekatan WtE seperti cofiring tidak menjadi solusi, karena biayanya jauh lebih mahal daripada proyek pensiun dini PLTU. Ia menegaskan bahwa co-firing bukan solusi karena praktiknya lebih mahal dibandingkan dengan pensiun dini PLTU.