Bandung: Kota Terpadat, Bahaya Mengancam, Masih Amankah?

Posted on

Bandung: Kota yang Kini Tercoreng oleh Berbagai Masalah

Bandung, kota yang dikenal dengan julukan “Kota Kembang”, kini menjadi sorotan masyarakat. Julukan ini dulunya melambangkan keindahan alam dan budaya serta sebagai pusat pendidikan yang unggul. Namun, kini Bandung tercoreng oleh berbagai stigma negatif seperti kemacetan parah, tingkat kriminalitas yang tinggi, praktik pungutan liar (pungli), dan seringnya terjadi banjir. Pertanyaannya, masihkah Bandung layak disebut sebagai kota yang aman dan nyaman untuk ditinggali atau bahkan sekadar dikunjungi?

Sejarah dan Perubahan Bandung

Sejak masa kolonial, Bandung mendapatkan julukan “Paris van Java” karena tata kota Eropa yang rapi dan cuaca sejuk. Namun, perubahan besar mulai terjadi pada pertengahan 1980-an ketika pertumbuhan ekonomi memicu ledakan urbanisasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Bandung meningkat drastis pasca-reformasi. Dari sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2000, jumlah penduduknya melonjak menjadi 3 juta hanya dalam dua dekade. Mobilitas harian dari wilayah aglomerasi seperti Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Garut juga semakin memperparah kondisi kota.

Kemacetan yang Tak Pernah Berakhir

Kemacetan di Bandung adalah masalah utama yang tidak pernah mengenal libur. Setiap akhir pekan, jalanan kota dipenuhi kendaraan wisatawan dari luar kota seperti Jakarta. Tren wisata akhir pekan ini menjadikan Bandung sebagai salah satu kota dengan kemacetan terparah di Indonesia. Bahkan, polusi kendaraan di Bandung bisa membuat Jakarta terasa lebih sejuk.

Kemacetan ini disebabkan oleh ketimpangan antara pertumbuhan kendaraan dan infrastruktur. Bandung tidak dirancang untuk mobil pribadi yang terus bertambah banyak. Untuk mengatasi hal ini, Farhan, wali kota Bandung, berencana mengganti trayek angkot dengan sistem wilayah dan pemesanan online, mirip dengan Transjakarta di Jakarta. Solusi ini diharapkan bisa membantu mengurangi beban transportasi kota.

Tingkat Kejahatan yang Mengkhawatirkan

Selain kemacetan, tingkat kejahatan di Bandung juga sangat mengkhawatirkan. Geng motor menjadi ancaman utama bagi warga dan wisatawan. Fenomena ini sempat mereda, tetapi kembali muncul dan menjadi momok menakutkan. Wilayah seperti Antapani, Kiaracondong, dan Ujungberung menjadi titik rawan aksi brutal kelompok remaja bersenjata tajam.

Kejahatan anak remaja ini disebabkan oleh pergaulan bebas, lemahnya kontrol keluarga, serta minimnya ruang ekspresi bagi generasi muda. Banyak tempat wisata seperti Jalan Braga, Mall PVJ, dan Stasiun Bandung menjadi sasaran kejahatan. Cerita penipuan dan pelecehan seksual sering terjadi, terutama terhadap wisatawan asing.

Pungli yang Meresahkan Warga

Pungli juga menjadi masalah akut yang mencoreng wajah Bandung. Di sektor perparkiran, banyak warga dan wisatawan mengeluh tentang petugas parkir liar yang mematok tarif seenak udelnya. Bahkan, ada kasus pemaksaan kekerasan jika pengguna jasa tidak memberikan sesuai keinginan.

Banjir yang Selalu Menghantui

Masalah lain yang selalu menghantui Bandung adalah banjir. Sebagai kota yang secara geografis seperti “mangkok raksasa”, setiap hujan deras turun, 11 titik wilayah rawan banjir di Kota Bandung selalu terkena dampaknya. Beberapa jalan seperti Jalan Kopo Citarip, Jalan Cibuntu, dan Jalan Sudirman sering terendam air.

Solusi Jangka Panjang

Kondisi Bandung saat ini adalah buah dari kontradiksi antara kota budaya dan kota bermasalah, antara pusat inovasi dan pusat kemacetan. Solusi jangka panjang harus mencakup pembenahan total sistem transportasi publik, penataan ruang kota yang inklusif, serta penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan dan partisipasi kebijakan.

Di bawah kepemimpinan Farhan sebagai wali kota dan Dedi Mulyadi sebagai gubernur Jawa Barat, Bandung memiliki tantangan besar di masa depan. Keberanian pemimpin dalam mengambil kebijakan yang tak populer akan menjadi kunci keberhasilan. Tanpa dukungan masyarakat, Bandung mungkin akan terus berkutat dalam tiga stigma gelap: macet, kriminal, dan pungli.