Dari Padang Sidempuan hingga Natal: Petualangan dan Peluang di Sumatera Tenggara!

Posted on



– Bayangkan: kamu tinggal di pedalaman Selatan Sumut, jarak tempuh ke Medan bisa belasan jam, layanan publik lambat, dan rasanya seperti jadi bagian yang dilupakan. Inilah realita yang dirasakan warga Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Padang Sidempuan, sehingga wacana pemekaran menuju Provinsi Sumatera Tenggara menjadi kisah yang penuh harap.

Wacana ini bukan isapan jempol. Luasnya hampir 20.089 km² dengan sekitar 1,5 juta jiwa dan Padang Sidempuan sebagai ibu kota calon provinsi, membuatnya bukan sekadar mimpi kosong. Bahkan DPRD dan tokoh lokal terus bersuara agar pelayanan publik bisa terasa nyata, bukan sekadar slogan.

Di lapangan, obrolan di warung kopi atau kantor desa sampai tingkat pemerintahan lokal, semua membicarakan: “Kapan nih jasa administrasi jadi cepat? Infrastruktur diperbaiki? Ekonomi lokal maju?” Semua bermuara pada satu tujuan: pemerintahan yang lebih dekat dan lebih gesit.


Kenapa Pemekaran Ini jadi Obrolan Serius?

Ada faktor geografis dan budaya yang bikin Sumut bagian selatan berbeda. Jalan-jalannya, budaya Mandailing, Batak, dan kombinasi kearifan lokal menghidupkan karakter lokal yang khas. Tapi saat administrasi masih dikendalikan dari Medan, pembangunan terasa timpang.

Pelayanan publik yang lambat membuat masyarakat terkadang menunggu berbulan-bulan hanya untuk urusan KTP atau izin usaha kecil. Imbasnya? Ekonomi lokal sulit berkembang. Dengan provinsi baru, mereka berharap pusat pemerintahan jadi lebih dekat padahal, jarak ke Medan bisa 600 km!


Potensi dan Harapan yang Melekat

Provinsi Sumatera Tenggara dirancang dengan peta ekonomi yang menjanjikan. Kelima wilayah ini dikenal kaya dengan kelapa sawit, karet, dan kopi sebagai komoditas agraris yang selama ini belum maksimal pengolahannya.

Kalau nanti jadi provinsi, infrastrukturnya bisa jadi diberi jalan layak. Jangan kaget kalau nanti jalan-jalan pedalaman punya akses listrik memadai, pasar lokalnya ramai, atau bahkan ada perguruan tinggi negeri di Padang Sidempuan yang selama ini jadi mimpi.

Masyarakat pun mulai percaya. Mereka menaruh harapan bahwa dengan pemekaran, tidak hanya simbol simbolik, tapi benar-benar lihatnya ada jalan mulus, kantor pelayanan cepat, modal usaha lancar, dan SDM lokal tumbuh subur.


Proses Nilai Matang: Bukan Sekadar Ide

Pemekaran ini kini bukan sekadar wacana; tim kajian akademik sudah diberangkatkan. Bahkan Komite DOB DPD dan sejumlah tokoh daerah seperti Usman Hasibuan hingga tokoh akademisi terus menggalang dukungan ke DPR RI dan Kemendagri.

Tantangannya jelas: UU Pemda masih berlaku moratorium DOB. Tapi mereka tidak patah semangat. Kajian SDM, keuangan, potensi pendapatan asli daerah, dan kesiapan infrastruktur terus digodok.


Pesan Masyarakat & Catatan Penting

Secara kelembagaan, wacana ini mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat. Mereka memberi suaranya lewat diskusi publik, majelis adat, dan forum media hasilnya bukan sekadar ide, tapi aspirasi real yang terus diperjuangkan.

Tentu, rencana ini bukan tanpa risiko. Alokasi dana, penanganan aset daerah, penentuan kabupaten kota masih harus disepakati. Tapi semangat “dekat itu efisiensi” jadi moto yang menyatukan: “Jangan rakyat yang datang ke pemerintah, tapi pemerintah yang hadir di depan rakyat.”

Rencana pemekaran ke Provinsi Sumatera Tenggara bukan sekadar peta administratif baru. Ini adalah panggilan hati dan strategi nyata untuk pelayanan publik yang cepat, ekonomi lokal berkembang, dan pemerataan pembangunan. Jika semua elemen pemerintah daerah, pusat, akademisi, tokoh adat, dan rakyat bersatu, mimpi provinsi baru ini bisa segera jadi fakta, memberi ruang bagi masa depan Selatan Sumut yang mandiri dan lebih maju. *** (Gilang)