Ketahanan Pangan Garut Terancam, Rehabilitasi Irigasi Jadi Solusi

Posted on

Pemerintah Garut dan BBWS Cimanuk Cisanggarung Berupaya Percepat Rehabilitasi Jaringan Irigasi

Pemerintah Kabupaten Garut bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung mengambil langkah penting dalam mempercepat rehabilitasi jaringan irigasi yang menjadi tulang punggung produksi pangan di wilayah tersebut. Inisiatif ini dinilai sangat mendesak, mengingat masalah irigasi tidak hanya berdampak pada aspek teknis, tetapi juga secara langsung memengaruhi stabilitas ekonomi pertanian.

Bupati Garut Abdusy Syakur Amin menegaskan bahwa normalisasi dan pembangunan jaringan irigasi adalah kebutuhan mendasar yang harus segera dijawab. Ia menyatakan bahwa tanpa pasokan air yang memadai, petani sulit meningkatkan produktivitas. Pemerintah daerah merasa senang dengan keterlibatan BBWS karena program ini menunjukkan komitmen pusat dalam mendukung kemandirian pangan daerah.

Namun, di balik rencana besar ini, ada tantangan yang tidak bisa diabaikan. Jaringan irigasi di beberapa kecamatan, terutama Banyuresmi hingga wilayah utara Garut, mengalami sedimentasi parah. Akibatnya, debit air yang seharusnya mengairi ribuan hektare sawah justru tersendat. Petani hanya mengandalkan musim hujan, yang tidak cukup untuk menjaga kesinambungan produksi sepanjang tahun.

Kepala BBWS Cimanuk Cisanggarung Dwi Agus Kuncoro mengakui kondisi tersebut. Ia menjelaskan bahwa rehabilitasi akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari wilayah Banyuresmi yang mencakup beberapa sungai seperti Ciroyom, Cisangkal, Bandama, Cipancar, Simpangsari, hingga Leuwibolang. Tahapan selanjutnya akan diperluas ke wilayah Sungai Cipeujeuh, Cimanuk, Cikuray, Leuwibitung, Sindujaya, Cirompang, dan Cibuyutan Utara.

Langkah bertahap ini dianggap realistis mengingat keterbatasan anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, efektivitasnya masih perlu diuji. Selain itu, Garut hingga saat ini belum memiliki bendungan permanen yang bisa menjadi penyangga air ketika musim kemarau tiba. Hal ini membuat ketahanan pangan Garut rentan terhadap perubahan iklim.

Dari sisi ekonomi, pembangunan irigasi tidak hanya soal infrastruktur air. Ini berkaitan langsung dengan rantai pasok pertanian, harga beras, serta stabilitas pasar lokal. Ketika irigasi mengalami gangguan, produksi padi menurun, biaya produksi naik, dan daya beli masyarakat tergerus. Dengan demikian, memperbaiki saluran irigasi sama artinya menjaga kestabilan ekonomi perdesaan.

BBWS juga berkomitmen untuk tidak hanya fokus pada rehabilitasi irigasi. Dalam periode 2026–2029, lembaga ini menyiapkan program pengamanan sungai untuk melindungi kawasan pemukiman, jalan, dan lahan pertanian dari ancaman erosi serta banjir. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana alam yang sering melanda Garut.

Tantangan terbesar bukan hanya teknis, tetapi juga budaya pemakaian air. Garut selama ini sangat bergantung pada pasokan alam, sehingga ketika musim kering tiba, petani sering kali kesulitan. Dwi Agus menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah daerah dan petani dalam mensosialisasikan pola hemat air. Tidak hanya menghemat, tetapi juga mengubah cara bercocok tanam agar lebih efisien, baik dari sisi air, benih, maupun pupuk.

Selain itu, evaluasi proyek irigasi sebelumnya juga penting dilakukan. Banyak proyek infrastruktur pertanian yang mangkrak atau tidak dimanfaatkan secara optimal karena perencanaan tidak terintegrasi dengan kebutuhan lapangan. Jika kesalahan ini terulang, rehabilitasi irigasi di Garut hanya akan menambah daftar panjang proyek tanpa manfaat nyata.

Jika rencana rehabilitasi ini berhasil, Garut tidak hanya mampu meningkatkan produksi pangan, tetapi juga memberi kontribusi lebih besar terhadap pasokan beras Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *