Masalah Sampah di Bali: TPA Suwung Tutup, Pariwisata Terancam Bangkrut

Posted on

Pengelolaan Sampah di TPST 3R Seminyak Bali

Di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3R Desa Adat Seminyak, Kuta, Badung, Bali, bau tidak sedap tercium dari jarak jauh. Seorang pekerja tampak memilah sampah botol plastik di area seluas 17,5 are. Tangannya bergerak cepat untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Tidak sendiri, ada pekerja lain yang mengepres botol plastik sementara sebagian lagi menurunkan sampah dari bak truk.

Aktivitas di TPST 3R Desa Adat Seminyak ini tak pernah berhenti, bahkan pada hari libur. Hanya saat Hari Raya Nyepi, kegiatan pemilahan sampah berhenti. Mesin pengolahan sampah bantuan produsen minuman bersoda, PT Coca Cola Amatil Indonesia, bekerja mengepres botol plastik untuk dipadatkan.

Ketua TPST 3R Seminyak, Komang Rudhita Hartawan, menjelaskan bahwa tenaga kerja terdiri dari 52 orang dengan latar belakang agama dan ras. Mereka dikerahkan karena TPST 3R melayani pelanggan dari Desa Adat Seminyak, Kerobokan, dan Kuta. Pelanggan tidak hanya rumah tangga tetapi juga industri pariwisata seperti hotel dan restoran.

Pada Juni 2025, TPST 3R Seminyak melayani 1.800 pelanggan, termasuk 300 KK warga desa. Untuk melayani jumlah tersebut, TPST menggunakan 28 unit armada truk besar dan kecil, dengan 22 yang beroperasi. Dalam sehari, TPST menerima 178 meter kubik sampah dengan komposisi 60% anorganik dan 40% organik.

Botol plastik yang terpilah langsung dipadatkan dan dikirim ke pabrik daur ulang di Cikarang, Bekasi. Setiap kali kirim, sebanyak 10 ton botol plastik dikirim. Harga botol plastik PET saat ini Rp 4.500 per kilogram, sedangkan harga aluminium berkisar antara Rp 13 ribu hingga Rp 14 ribu.

Sampah organik diolah menjadi kompos dalam waktu 30 hari dengan kapasitas produksi maksimal empat ton per bulan. Kompos sebagian besar disalurkan ke hotel dan restoran dengan harga Rp 2.500 per kilogram.

Omzet TPST 3R Seminyak pada 2024 mencapai Rp 3,3 miliar, belum termasuk biaya operasional bulanan sebesar Rp 210 juta. Meski banyak sampah yang dipilah dan didaur ulang, residu yang dihasilkan masih cukup banyak. Enam truk berkapasitas dua ton dikerahkan setiap hari untuk membuang residu ke TPA Suwung, Denpasar.

Per 1 Agustus 2025, TPA Suwung tidak lagi menerima kiriman sampah organik. TPA seluas 32,4 hektare ini akan ditutup permanen pada akhir Desember 2025. Penutupan ini membuat pengelola TPST 3R Seminyak gundah. Menurut Rudhita Hartawan, penutupan TPA Suwung berpotensi menghancurkan pariwisata Bali karena sampah dominan berasal dari sektor pariwisata.

Volume sampah di Bali mencapai 3.436 ton per hari. Kota Denpasar menyumbang 1.005 ton, Gianyar 562 ton, dan Badung 547 ton per hari. DKLH Bali mengeklaim sampah organik menyumbang 60%, sedangkan plastik hanya 17%.

Menurut Ni Made Armadi, Kepala UPTD Pengolahan Sampah DKLH Bali, masalah sampah harus segera ditangani. Pemerintah menerbitkan Pergub No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Plastik Sekali Pakai dan Pergub No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Fokus saat ini adalah mempercepat pembatasan pemakaian sampah plastik sekali pakai dan membangun TPS3R di desa dan desa adat.

Ni Wayan Riawari, Ketua Yayasan Bali Wastu Lestari, mengatakan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi penyebab masalah darurat sampah. Yayasan ini fokus memberi layanan sosialisasi dan edukasi pengelolaan sampah sejak 2010.

Dr Nyoman Subanda, pengamat politik, menekankan pentingnya peran pemerintah dalam edukasi dan infrastruktur pengelolaan sampah modern. Ia juga menyarankan insentif bagi masyarakat yang taat aturan. Tanpa kesadaran bersama, sulit mewujudkan Bali bebas sampah. Contoh Jepang dan Swedia menunjukkan bahwa daur ulang efektif mengurangi sampah ke TPA.