Pengelolaan DAS Bandung Butuh Regulasi Kuat untuk Lindungi Sungai Citarum

Posted on

Tantangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung, yang dikenal dengan keindahan alamnya, kini menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), terutama di sekitar Sungai Citarum. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar kini justru menghadapi ancaman serius akibat berbagai permasalahan mendasar.

Salah satu hambatan utama adalah adanya kebijakan yang tidak selaras antar daerah. Perbedaan kebijakan antara wilayah-wilayah seperti Garut dan Bandung membuat kerja sama menjadi sulit. Hal ini memicu tumpang tindih dalam penerapan kebijakan. Menurut Wakil Ketua I Forum Komunikasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (FKPDAS) Jawa Barat, Sapto Prajogo, batas administrasi antar wilayah menjadi penghalang utama dalam upaya penyelamatan DAS.

“Garut punya kebijakan sendiri, Bandung punya kebijakan sendiri. Akhirnya di lapangan tidak nyambung. Seharusnya pemerintah provinsi hadir untuk menjembatani agar semua pihak bisa berkolaborasi dalam pengelolaan DAS,” ujar Sapto saat menghadiri kegiatan Kolaborasi Diskusi pengelolaan DAS di Kabupaten Bandung.

Meski sudah ada berbagai program yang disiapkan, FKPDAS Kabupaten Bandung belum mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah. Akibatnya, forum ini hanya menjadi wadah diskusi tanpa memiliki kekuatan untuk mengeksekusi gagasan di lapangan. Oleh karena itu, melalui diskusi kolaborasi pengelolaan DAS yang digelar di sekretariat Yayasan Walatra Giri Raharja, Desa Cibodas, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung menjadi langkah kongkrit untuk menata lingkungan khususnya wilayah DAS.

Pegiat Lingkungan yang juga pendiri yayasan Walatra Giri Raharja, Eyang Memet, menyampaikan keprihatinan akan kondisi lingkungan saat ini. Ia menyoroti pentingnya konsep kolaborasi pentahelix, yang melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha, dan media. Namun, ia mengatakan bahwa konsep tersebut sering kali hanya menjadi jargon kosong.

“Potensi di Kabupaten Bandung sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana mengoptimalkannya. Kolaborasi harus disertai konsekuensi nyata, bukan hanya sekadar wacana,” kata Eyang Memet.

Eyang Memet menjelaskan bahwa kondisi lingkungan di hulu maupun hilir DAS Kabupaten Bandung kini cukup mengkhawatirkan. Regulasi mengenai perhutanan sosial dan kebijakan kehutanan belum berjalan sesuai harapan, akibat lemahnya monitoring dan evaluasi (MONEV). Ia mengingatkan pengalaman seorang petani di kawasan hulu yang mengeluhkan sulitnya mengakses program perhutanan sosial karena persyaratan yang berbelit dan kurangnya pendampingan.

“Regulasi itu banyak yang bagus, tetapi implementasinya kurang. MONEV hampir tidak pernah dilakukan. Bahkan pelaku perhutanan sosial sering bukan warga setempat, sehingga manfaatnya tidak maksimal,” ujarnya.

Selain itu, Eyang Memet juga menyoroti peran media dan jurnalis dalam isu lingkungan. Pemberitaan yang konsisten dapat mengedukasi masyarakat, mengawal kebijakan, serta mengangkat potensi lokal yang kerap terabaikan.

“Tanpa jurnalis yang mengawal dan mengedukasi masyarakat, isu lingkungan hanya akan berhenti di tataran diskusi,” tegasnya.

Harapan Eyang Memet sederhana, pengelolaan DAS di Kabupaten Bandung harus dilakukan secara terintegrasi. Sinergi antara pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha, dan media menjadi kunci untuk menjaga kelestarian Sungai Citarum dan daerah sekitarnya. Tanpa komitmen bersama, ancaman terhadap kualitas lingkungan Kabupaten Bandung akan semakin besar.

Penguatan regulasi, keberpihakan anggaran, serta pengawasan yang berkelanjutan adalah langkah penting untuk mengurangi kerusakan lingkungan. “Akankah harapan ini menjadi kenyataan, ataukah Sungai Citarum akan terus merana? Maka, kehadiran FKPDAS diharapkan bisa menciptakan solusi dalam penanganan lingkungan khusus kawasan DAS di kabupaten Bandung,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *