Peringatan: Proyek PLTSa di 33 Provinsi Terancam Gagal Berkembang

Posted on

Tantangan dan Peluang Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Meskipun proyek ini memiliki potensi besar dalam mengatasi masalah sampah sekaligus menyediakan sumber energi terbarukan, beberapa faktor seperti keekonomian, regulasi, dan pengelolaan sampah masih menjadi kendala utama.

Penurunan Target PLTSa dalam RUPTL 2025-2034

Berdasarkan analisis terhadap Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUPTL) 2025–2034, target kapasitas PLTSa secara nasional mengalami penurunan signifikan. Dari rencana awal sebesar 518 MW dalam RUPTL 2021–2030, target kini hanya mencapai 453 MW. Penurunan ini menunjukkan bahwa teknologi PLTSa tidak lagi menjadi prioritas utama dalam transisi energi nasional.

Di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali), yang merupakan pusat ekonomi Indonesia, penurunan kapasitas PLTSa bahkan lebih drastis. Kapasitas yang sebelumnya direncanakan sebesar 492 MW kini turun menjadi 399 MW. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah dengan volume sampah tinggi, pengembangan PLTSa masih menghadapi hambatan yang besar.

Proyek PLTSa di 33 Provinsi

Meski target dalam RUPTL menurun, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong pengembangan PLTSa di 33 provinsi. Namun, jadwal implementasi proyek ini masih minim. Hingga saat ini, baru dua PLTSa yang beroperasi, yaitu PLTSa Putri Cempo di Surakarta dan PLTSa Benowo di Surabaya.

Proyek ini diperkirakan akan menjadi solusi tambahan di luar RUPTL, namun keekonomian pembangkit dan penyerapan listrik tetap menjadi tantangan utama.

Instrumen Pembiayaan Baru: Patriot Bond

Untuk mendukung investasi di sektor PLTSa, pemerintah telah menyiapkan instrumen keuangan baru bernama Patriot Bond. Instrumen ini digunakan di berbagai negara seperti Jepang dan Amerika Serikat sebagai alat pembiayaan strategis. Patriot Bond ditujukan untuk menghimpun dana dari para pemimpin bisnis nasional yang akan dialokasikan ke sektor-sektor produktif, termasuk transisi energi dan lingkungan.

CEO BPI Danantara Rosan P Roeslani menjelaskan bahwa skema ini terbuka bagi semua investor, baik dalam maupun luar negeri. Namun, harga listrik dari sampah sudah ditetapkan sebesar 20 sen per kWh, tanpa ruang negosiasi.

Rezim Pengelolaan Sampah yang Kompleks

Dalam praktiknya, pengelolaan sampah tidak hanya berada di tempat pembuangan akhir, tetapi juga dari rumah tangga. Direktur Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa mengubah sampah menjadi energi masih belum menguntungkan secara bisnis.

Biaya pembangunan PLTSa bisa mencapai antara US$5 juta hingga US$13 juta per megawatt, tergantung lokasi. Selain itu, pendekatan Waste to Energy (WtE) seperti cofiring juga dinilai tidak efektif karena biayanya lebih mahal dibandingkan pensiun dini PLTU.

Perubahan Regulasi untuk Mempermudah Proyek WtE

Pemerintah sedang merevisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang PLTSa. Dalam revisi tersebut, pemerintah tidak akan menyertakan tipping fee atau biaya yang dibayarkan oleh pemerintah daerah kepada pihak pengolahan sampah.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani menjelaskan bahwa tipping fee hanya berlaku pada kontrak yang sudah berjalan. Untuk kontrak baru, tidak ada lagi ketentuan tersebut.

Beban PLN dan Kebijakan Fiskal

Ekonom Indef Abra Talattov menjelaskan bahwa insentif untuk PLTSa bukan sebagai subsidi listrik, melainkan sebagai investasi fiskal untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, yakni krisis sampah dan tambahan pasokan energi terbarukan.

Kompensasi selisih harga perlu dihitung dan di-cover dari instrumen APBN yang tepat agar memberikan kepastian bagi PLN dan investor. Ini menjadi kunci dalam mempercepat pengembangan PLTSa di Indonesia.